Berdasarkan informasi yang berkembang di berbagai media daring, salah satu penyebab tumbangnya toko-toko grosir di Pasar Tanah Abang dan banyak pasar grosir lainnya adalah munculnya para pesaing online yang tidak sekadar berjualan di platform e-commerce dengan menempatkan lapak begitu saja, tetapi juga karena para pesaing merambah ke media sosial dan melakukan penjualan dengan cara langsung (live).
Kondisi tersebut diperparah kabar bahwa penjualan live di lapak e-comemerce dan media sosial bisa dilakukan 24 jam penuh, harga produk yang dijual bisa jauh lebih murah, gratis ongkos kirim, promosi voucher cashback, promosi voucher diskon selama live, dan interaksi langsung yang dapat dilakukan antara penjual dan pembeli kian membuat daya tarik tersendiri. Bahkan beberapa penjualan live dibawakan oleh sederet orang ternama/artis.
Jika diamati secara logika, para pedagang grosir Tanah Abang dan pedagang grosir luring lainnya seperti bersaing dengan mesin-- tak kenal waktu, tak kenal lelah, tak kenal modal, dan tak kenal biaya operasional. Sementara bagi mereka semua penjual daring, apa yang terjadi seolah hari ini live esoknya break even point, terlebih ketika sudah menyebut lapak penjualan live yang dibawakan oleh sederet orang ternama/artis.
Sejak program penjualan live streaming bergaung di platform e-commerce dan media sosial, berikutnya mulai bermunculan informasi besarnya omzet dan rekor hasil penjualan yang diraih oleh berbagai platform e-commerce dan media sosial, terutama penjualan live streaming yang digawangi oleh orang ternama/artis.
1.5 jam live omzet 5.5 miliar, 12 jam live omzet 7 miliar, 24 jam live TikTop omzet 40 miliar, live Shopee pecah rekor 16 miliar dan informasi peraihan omzet dan rekor lainnya yang tersebar di berbagai media daring. Di sisi lain, berita kontras tentang tumbangnya toko-toko grosir di Pasar Tanah Abang dan lainnya mengemuka serta menghiasi berbagai media daring. Pertanyaan menggelitik yang muncul, siapa yang diuntungkan oleh penjualan live streaming di e-commerce dan media sosial?
Bila mengacu pada berbagai lapak penjual di media-media tersebut, bukankah sebagian besarnya juga merupakan bagian dari UMKM yang sudah melek pasar digital? Sehingga jangan-jangan yang terjadi sebenarnya hanya sesuai kata pepatah bahwa hidup itu seperti putaran roda, kadang di atas kadang di bawah? Bahwa penjual-penjual luring di Pasar Tanah Abang dan lainnya sekarang rodanya sedang berada di bawah putaran. Toh faktanya, banyak informasi beredar kalau mereka juga ikut buka lapak dan live streaming di e-commerce dan media sosial.
Tetapi jika semua persaingan tak setara itu bermuara pada harga jual yang banyak dinilai tak masuk akal, selain patut dipertanyakan dari mana mereka mendapat keuntungan? Ternyata fenomena live streaming menumbuhkan buah simalakama di kalangan konsumen.
Dulu topik budaya konsumtif seringkali memenuhi ruang tulis ketika perilaku atau gaya hidup konsumen dalam berbelanja tampak menggejala. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini yang menjadi pusat perhatian adalah para penjualnya (produsen). Padahal, yang perlu dicermati pula adalah budaya konsumtif yang bukan saja menggejala, tapi juga menggila ketika fenomena live streaming menggempur platform e-commerce dan media sosial.
Budaya konsumtif kini tumbuh menjadi buah simalakama bagi para konsumen. Murahnya harga produk yang tak masuk akal seperti sayang untuk dibiarkan begitu saja. Siapa yang tak tergoda bila satu setel harga baju yang biasa dijual antara Rp 100.000-Rp 150.000 tiba-tiba bisa didapat hanya dengan harga Rp 40.000-60.000 dengan kualitas yang cukup bagus? Apalagi soal pembayaran bisa diselesaikan oleh mereka yang tak memiliki simpanan uang sekalipun dengan sistem pembayaran paylater.
Banyak juga kebutuhan sembako yang dijual dengan harga menggoda karena mendapat potongan diskon 50% saat live, gratis ongkos kirim dan poin cashback. Misal harga 2 liter minyak goreng yang biasa berkisar di harga Rp 36.000-46.000 bergantung merek, saat berbelanja melalui live streaming bisa didapat dengan harga Rp 20.000-26.000 tanpa ongkos kirim (masih di bawah 2 liter harga minyak goreng subsidi yang berkisar di harga Rp 28.000-34.000 dan agak sulit didapat).