Pada ulang tahun pernikahan kami yang ke 3, satu tahun lalu, hadiah pernikahan itu ia terima dengan suka cita. Hadiah pernikahan sederhana yang terdiri dari beberapa makanan ringan dan kebutuhan perawatan tubuh yang disusun rapi dalam sebuah kemasan parcel nan apik. Tetapi sebenarnya saya tahu apa yang sangat ia inginkan.
Sejak ia menyadari betapa pentingnya dukungan lingkungan dan fasilitas rumah tinggal dalam tumbuh kembang anak, keinginannya memiliki rumah tinggal sendiri layak huni terus ia utarakan dalam setiap diskusi kami. Terlebih bila mengingat kondisi putra kami yang super aktif, dan kondisi rumah peninggalan orang tua saya yang sudah tidak layak huni.
Iya. Kami masih menumpang di rumah milik bersama peninggalan orang tua saya. Namun rumah itu sesungguhnya sudah tidak layak huni dari berbagai aspek. Baik kebersihan, kesehatan, kenyamanan, keamanan maupun aspek lingkungannya.
Rumah itu cukup luas dengan delapan ruang. Tiga di antaranya kamar tidur. Tetapi hanya satu kamar tidur dan satu ruang yang masih layak digunakan. Itu pun setelah kami renovasi sekitar dua tahun lalu. Bukan kami tidak bersyukur tetapi setiap keluarga ingin kehidupan lebih baik yang sejahtera. Rumah peninggalan itu tentu saja bukan bagian dari kesejahteraan kami. Sebab rumah itu masih milik bersama dan sudah masuk kategori tidak layak huni.
Hampir setiap waktu kami mengeluh tentang serangga, kecoa dan tikus yang tak berhenti mengganggu kenyamanan. Nyaris tiap musim hujan kami mengeluhkan kebocoran dan kebanjiran. Lalu di musim kemarau kami mengeluh panas yang luar biasa meskipun kipas angin listrik sudah terpasang. Belum lagi rangka atap dan plafon yang terancam ambruk lantaran sudah rapuh termakan rayap. Sementara untuk merenovasi, masalah biaya seperti dua tahun lalu ketika kami merenovasi satu kamar tidur dan satu ruang saja sudah jadi kendala, apalagi merenovasi rumah seluas itu.
Tahun ini, niat hati sangat ingin memberi istri saya hadiah pernikahan sebuah rumah tinggal kepadanya. Keinginan yang hampir pasti sama diinginkan oleh setiap pasangan yang baru menjalani pernikahan. Memasuki ulang tahun pernikahan kami yang ke 4, keinginan itu masih tetap sama; sebuah rumah tinggal layak huni milik sendiri.
Tidak berbeda dari sejak pertama kali kami menelusuri jalan-jalan di sekitar Parung-Bogor untuk mencari rumah bersubsidi layak huni yang bisa kami cicil. Walau sampai pada akhirnya, pencarian kami terbentur dengan kenyataan bahwa masa kerja yang saya punya tidak bisa memenuhi kriteria minimal tenor cicilan yang ditawarkan. Keinginan untuk memiliki rumah tinggal sendiri layak huni terus saya patri di hati.
Setiap pasangan pasti punya perjalanannya masing-masing hingga tiba di pernikahan, bertemu di peraduan dan berjalan bersama ke tujuan. Tetapi tidak semua pasangan dipertemukan Sang Maha Pengasih dan Penyayang dengan membawa banyak bekal atau kemapanan. Bahkan beberapa di antaranya bertemu dari titik zero. Kemudian berupaya bersama untuk mencapai puncak hero.
Sebuah pernikahan terjadi atas kehendak Sang Maha. Pernikahan adalah modal dan bekal awal sepasang insan untuk meraih kebahagiaan bersama melalui komitmen, keabsahan dan nyali dalam memprediksi masa depan. Dari sinilah keyakinan bersama di pupuk dengan saling percaya, saling mengingatkan dan saling menguatkan.
Tidak ada yang tidak mungkin sejak saya memutuskan untuk menikahinya. Apalagi ketika ia memilih saya untuk memastikan dirinya bahwa saya mampu membawanya meraih kebahagiaan dan mewujudkan impiannya. Maka bersamanya, saya memupuk keyakinan bahwa tahun ini Sang Maha Pengasih dan Penyayang akan memberikan kami rumah tinggal sendiri layak huni lewat caraNya.