Sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) cita-cita saya sederhana, ingin menjadi seniman atau penulis. Kata ibu saya punya bakat menggambar sebab ketika kecil dulu saya senang mencoret-coret lantai atau dinding rumah dengan kapur.
Pujian berdatangan pada coretan saya kala itu. Mereka yang melihat selalu bilang coretan saya bukan sembarang, melainkan membentuk objek riil yang menarik. Banyak yang memberi komentar 'bagus' pada setiap objek yang saya gambar. Komentar ini mengingatkan saya pada sosok Pak Tino Sidin pembawa acara Gemar Menggambar di stasiun TVRI pada era 80an, yang selalu memberi komentar 'bagus' pada setiap gambar yang masuk dan diperlihatkan dalam acara tersebut.
Bakat menggambar saya mengingatkan kembali memori pada ruang-ruang kelas sekolah dasar, menengah dan atas yang telah tertinggal jauh melewati masanya. Ketika itu, acap kali tangan dan jemari saya sibuk menggambar di tengah aktivitas guru mengajar.
Beberapa kali di masa-masa sekolah saya pernah mengikuti lomba menggambar. Tapi belum satu pun lomba yang saya ikuti menuai prestasi. Dan saat lulus sekolah menengah saya mulai gemar membaca. Dimulai dengan membaca komik humor, horor dan silat yang pada masa itu merajai pasar. Sebut saja komik humor atau horor karya Tatang. S, komik silat karya Ganesh. TH, Jan Mintaraga dan lainnya.
Menyusul kemudian bacaan-bacaan berbentuk novel romantis dan silat seperti novel romantis karya Fredy. S dan cerita silat Pendekar Wiro Sableng 212 karya Bastian Tito. Pada era 1980 hingga 1990an, nama Fredy Siswanto (Fredy. S) dan Bastian Tito telah dikenal publik sebagai penulis yang karyanya laris manis.
Fredy. S dengan karya-karya romantisnya yang kerap menyelipkan plot-plot adegan erotis yang membangkitkan birahi. Sementara cerita silat Wiro Sableng dengan kisah kependekaran berbumbu jenaka dan petualangan cinta pada gadis-gadis cantik yang tak berujung. Apa ada yang tahu Wiro Sableng akhirnya menikah dengan siapa?
Orang bilang buku adalah jendela dunia, gudang ilmu, sumber pengetahuan atau istilah semacamnya yang mampu memaparkan bahwa buku adalah kumpulan lembar tulisan yang mendatangkan manfaat. Namun ada yang sepertinya dilupakan, bahwa ternyata buku juga bisa membawa dampak negatif atau membuat pembacanya terjerumus pada keburukan. Terkontaminasi sesat pikir, terinspirasi melakukan tindak kriminal, terjebak dalam adiksi dan lainnya.
Contohnya sebuah buku yang diduga memberi dampak buruk secara psikologis hingga terindikasi menjadi inspirasi atas dua pembunuhan orang terkenal pada masanya. Pertama, Mark Chapman, pelaku pembunuhan musisi John Lennon yang membawa serta novel 'Catcher In The Rye' karya JD Salinger saat melakukan pembunuhan pada tahun 1980. Kedua, Robert John Bardo, yang membawa novel yang sama kala membunuh aktris Rebbeca Schaeffer di tahun 1989.
Kemudian novel-novel romantis dengan plot-plot adegan erotis pada eranya juga terindikasi memberi pengaruh buruk terhadap generasi muda kala itu. Novel sejenis yang terbilang laris dan menyelipkan plot erotis lainnya datang dari terbitan luar negeri yang sepertinya ditulis ulang oleh penulis lokal dan dikenal sebagai novel Nick Carter.
Sebuah novel bergenre detektif dengan penokohan sosok Nick Carter sebagai agen rahasia mirip James Bond yang tak lepas dari kisah asmara dalam petualangannya mengungkap misteri. Lalu ada novel yang mengumbar erotisisme jauh lebih vulgar dari novel berbumbu romantis lainnya, yakni yang dikenal dengan karya Enny Arrow.
Sisi lain dari buku yang rasanya jarang dibahas oleh para penulis atau dipedulikan oleh para pembaca adalah dampak negatif atau buruk yang bisa ditimbulkannya. Dari novel-novel berplot erotis bahkan vulgar tadi misalnya, pembaca bisa terjebak pada pornografi adiktif. Buku-buku bertema ajaran fanatik dapat membuka sisi radikal pembacanya atau membuat begitu fanatik terhadap suatu ajaran. Bahkan beberapa kasus di antaranya rela berkorban nyawa hanya karena meyakini buku-buku ajaran yang dibacanya.