Kesal, jengkel, kalut, semua kecewa berkumpul jadi satu di benak saat kembali menyaksikan atap rumah saya bocor untuk kesekian kalinya. Di tengah kesibukan kerja dan mengurus keluarga kecil saya, kebocoran atap sungguh tidak nyaman, menguras pikiran dan membuat kepala serasa mau pecah. Terutama saat musim penghujan tiba.
Pada tahun 2021, dalam setahun saja, saya sudah empat kali melakukan perbaikan atap dengan membayar tukang yang katanya memiliki keahlian memperbaiki atap. Namun faktanya, atap rumah bagian kanan diperbaiki, bagian kiri rembes. Depan diselamatkan, belakang bocor. Atas ditambal bawah meneteskan air.
Memang saya akui, atap bahkan rumah peninggalan orang tua yang saya tempati seharusnya sudah dapat jatah renovasi. Sebab kondisinya mengkhawatirkan. Susunan rangka atapnya yang berbahan kayu sudah keropos di sana-sini. Tapi saya belum punya dana untuk itu. Sebab renovasi membutuhkan dana yang sangat besar.
Saya pernah coba memperbaiki sendiri kebocoran atap, mencari celah untuk memosisikan tubuh di suatu tempat yang nantinya memudahkan saya untuk menjangkau atap yang rembes atau bocor---di antara kondisi plafon yang rapuh. Kadang berhasil seringkali tidak. Itu pun baru sebatas mencari penempatan posisi tubuh, belum sampai ke perbaikan atapnya. Maklum saya tidak terbiasa dengan pertukangan.
Tetapi dari pengalaman itu saya mengamati bahwa untuk memperbaiki atap, apalagi dalam kondisi yang sulit diakomodir, diperlukan teknik, pengalaman dan pastinya keahlian. Selain itu saya juga melihat ketidakmampuan atau ketidaktahuan saya dalam hal pertukangan ternyata bisa dijadikan celah oleh orang lain. Pada celah itu kemudian disempilkan suatu strategi yang dampaknya dapat memengaruhi psikologis untuk saya mengiya atau menggangguk.
Jauh hari sebelum bersentuhan dengan masalah atap, saya mengalami satu kejadian yang kurang lebih sama. Suatu hari saya mengunjungi sebuah bengkel motor resmi untuk melakukan service motor. Bukan service rutin, melainkan karena performa motor saat saya kendarai sudah tidak memberi kenyamanan lagi.
Singkat kisah. Begitu sang montir mempreteli mesin motor bebek saya dan memeriksanya, dia menghampiri dan mengatakan bahwa ada beberapa onderdil dari motor yang harus diganti. Setelah mengetahui onderdil apa saja yang perlu diganti dan mengetahui estimasi biayanya, saya pun menyetujui untuk dilakukan penggantian.
Sementara montir melakukan pekerjaannya, saya menanti sambil sesekali membaca sebuah koran 'Kompas' yang tersaji di kursi tunggu. Meski sudah berkompetisi dengan dunia digital ternyata koran masih ada yang terbit bahkan sampai akhir bulan November 2022 saya masih sempat melihat seseorang berjualan koran pada sebuah meja kayu di tepi jalan.
Satu jam lewat. Bedah mesin motor saya usai. Sang montir kembali menghampiri, kali ini menuntun saya mendekati motor bebek yang telah selesai dikerjakan. Di hadapan saya dia tarik tuas gas dengan sekali hentakan. Bunyi mesin motor menderu. Kemudian dia berkata tentang semua masalah, penyebab dan hasil service yang dilakukannya pada motor bebek saya yang terhitung telah berusia sembilan tahunan ketika itu.
Satu kalimat yang masih terus terngiang sampai hari ini adalah saat sang montir mengatakan bahwa 'kopling otomatis' motor saya bermasalah, harus segera diganti. Sesudah saya bicara dan mengorek informasi, sang montir mengatakan bahwa kopling otomatis motor saya masih bisa bertahan setidaknya sampai tiga bulan ke depan.