Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, Satukan Kembali Nasionalis-Nahdliyin

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Kaka Suminta

Kaum Nahdliyin tak pernah berubah dalam hal nasionalisme, saat pertempuran Surabaya pecah, ketika Arek-arek Suroboyo tak lagi mau didikte oleh tentara AFNEI yang ditunggangi pemerintahan NICA Belanda, maka pejuang dari pesantern-pesantern di Jawa, termasuk dari Cirebon bahu membahu dengan warga Surabaya meladeni peralatan perang moderen dan pasukan terlatih NICA tanpa rasa takut dan tanpa ragu, soal kebangsaan, soal nasionalisme adalah final untuk kaum NU, demikian pernah diceritakan oleh Said Aqil Sirod dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Litbang PDI (sebelum menjadi PDI Perjuangan) di Jakarta.

Sepenggal cerita dari tokoh NU saat itu menggambarkan bagaimana keteguhan NU soal nasionalisme dan bagaimana akrabnya NU dengan kaum nasionalis. Data lain yang masih bisa berbicara adalah dari perolehan suara kelompok nasionalis yang diwakili oleh PNI dan partai NU dalam pemilu pertama Indonesia tahun 1955 memperoleh angka lebih dari 40 %, dan jika digabungkan seluruh kekuatan partai nasionalis pada saat itu suaranya mencapai lebih dari 75%. Ini menggambarkan bahwa kelompok nasionalis dan NU adalah kelompok terbesar di negeri ini, dan cukup solid.

Kemesraan dan kesamaan pandangan itu akan dapat kita saksikan pada saat awal reformasi, bagaimana kekuatan pembaharu saat itu bermuara pada kelompok nasionalis dan NU, sehingga dalam pemilu 1999 PDI Perjuangan mendapat limpahan kepercayaan untuk mengawal perubahan yang diinginkan rakyat, untuk lepas dari cengkeraman Orde Baru yang telah mengubah negara Indonesia jatuh dalam kungkungan kuasa represif militeristik Orba selama lebih dari tiga dasa warsa, sebuah masa yang telah meminggirkan rakyat terlempar dari pusaran politik, sehingga kekuatan sipil hampir mati lemas dalam bidang politik.

Kondisi rakyat yang apolitis cukup lama inilah yang menjadikan kemenangan reformasi tak mampu dikelola dengan baik oleh pemenang pemilu pada saat itu, alih-alih malah menjadi bulan-bulanan permainan dan manuver politisi oportunis yang menyusupkan kembali racun Orde Baru dalam tubuh reformasi, sehingga melahirkan anomali politik reformasi pada masa pemerintahan Gusdur-Megawati pasca pemilu 1999. Dan akhir ceritanya bisa ditebak, yakni berhasilnya agenda pihak lain untuk memisahkan kelompok nasionalis dengan kaum Nahdliyin, bahkan memecahkan pulan dianatara kaum nasionalis dengan nasionalis dan nahdliyin dengan nahdliyin, dan imbasnya masih bisa kita rasakan sampai saat ini.

Bandul pendulum politik pun saat ini nampaknya kembali berayun pada menyatunya kaum nasionalis dengan kaum Nahdliyin, yakni dengan masuknya dukungan PKB, sebagai partai yang lahir dari kandungan NU dengan PDIP bersama dengan partai pendukung lainnya untuk mengusung pasangan Jokowidodo dengan Jusuf Kalla (jokowi-JK). SEtelah belajar dalam beberapa kali segmen sejarah Indonesia modern, nampaknya dua kelompok ini perlu kembali menemukan ruh kebersamaan yang hadir sudah sejak Bangsa Indonesia dalam kandungan.

Tantangan yang dihadapi saat ini bukan berarti akan mudah di atasi, karena jika kita berkaca dari sejarah yang sudah berlalu, upaya untuk memisahkan dan melemahkan kebersamaan ini cukup keras dan dalam beberapa hal berhasil untuk melemahkanh keduanya. Proses belajar tadi seyogyanya semakin menjadikan kekuatan dan pengalaman, bukan hanya dalam mengusung kemenangan pasangan Jokowi-JK, namun juga bagaimana mengelola kebersamaan setelah memenangkan hati rakyat, karena inilah masa-masa kritis yang akan sangat potensial menjadikan ketidak harmonisan antara kaum Nahdliyin dan nasionalis.

Jika proses belajar ini mampu menjadikan kekuatan nasioanlis-nahdliyin menyatu dalam memimpin arah pembangunan bangsa menuju cita-cita Indonesia yang merdeka bersatu dan bedaulat sebagai sebuah negara maju, seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa, maka kemajuan Indonesia akan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Sejarahlah yang akan mencatat mampukah soko guru penopang bangsa ini menjalani panggilan sejarahnya untuk bersama-sama menghadirkan kejayaan Indonesia ke depan, setidaknya akan dapat kita saksikan pada pemilu presiden 9 JUli mendatang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline