Lihat ke Halaman Asli

Soeharto Lebih Pandai dari Akademisi.

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lelaki kelahiran 1926 atau 85 tahun lalu itu masih jernih menyampaikan gagasan-gagasanya, pemikiranya mengalir, seolah waktu tak pernah membuatnya surut ke belakang. Berdiri dengan tangan di atas podium, Daoed Joesoef mantan Menteri Pendidikan dan kebudayaan di era 80 itu terus menyampaikan pokok pikiranya tentang ilmu pengetahuan manusia Indonesia, yang dipaparkan dalam kuliah umumnya di Freedom Institute Jakarta Pusat. Semua peserta terpaku menyimak setiap kata yang keluar dari bibir guru besar yang pernah mengecap pendidikan di pusat pergulatan filsafat Perancis tadi. Hanya sedikit kesulitan menyebutkan beberapa kata yang menandakan penurunan kemampuan mengingatnya, tetapi secara keseluruhan ia tetap cerdas.

Kita tak akan lupa pada gebrakanya di era 80-an yang memperkenalkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK), sebagai kebijakan yang kontroversial saat ia menjadi menteri. Sebuah kebijakan yang diartikan oleh sebagaian kalangan terutama aktivis mahasiswa pada jamanya sebagai pengekangan terhadap aktivitas politik mahasiswa di kampus saat itu. Di tengah konsolidasi pemerintahan represif Soeharto maka sangat mudah dipahami jika NKK/BKK yang dilengkapi dengan Badan Kordinasi Kemahasiswaan dan penghapusan Dewan Mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia adalah bagian dari kebijakan represi Orba saat itu.

Namun Daoed Joeseof menanggapi berbeda tudingan itu, setidaknya dapat kita simak dari jawabanya dalam sesi tanya jawab tentang kebijakan kontroversial yang pernah dikeluarkanya. Ia menyatakan bahwa ide NKK/BKK adalah asli gagasanya, bukan sebagai ide Soeharto, sementara maksud dari kebijakan itu juga ia jelaskan justeru untuk membangun budaya ilmiah di kampus-kampus yang ternyata saat itu telah hilang dari lingkungan kampus, keprihatinanya atas kondisi demikian yang membuat ia menggagas dan menerapkan kebijakan untuk menyeterilkan kampus dari kegiatan lain, terutama kegiatan politik praktis yang marak di kampus-kampus saat itu.

“Justeru itu yang disalah artikan, kehidupan kampus harus menjadi komunitas intelektual, komunitaspencarian pengetahuan, sehingga lebih relevan dengan pencarian konsepsi politik, yang mempersiapkan mahasiswa dengan kematangan konsep sebelum ia melakukan kegiatan politik setelah keluar dari kampus,”ujar Daoed Joeseof membela kebijakanya yang dikecam salah satu penanya.

Menurut Daoed Joesoef, pencarian dan pembangunan konsep politik itulang yang dilakukan oleh para perintis kemerdekaan seperti Mohamad Hatta semasa menjadi mahasiswa, sebuah konsepsi politik yang dilakukan dengan melakukan kajian dan pencarian yang dilakukan secara ilmiah pada saat para pendiri republik i8ni menjadi mahasiswa di laur negarai saat itu. Sehingga Daoed Joesoef memandang bahwa Belanda lebih takut dengan konsep-konsep politik Hatta dibandingkan dengan Soekarno yang lebih memilih jalur kegiatan politk praktis di kampus dalam mengimplementasikan kegelisahan politiknya. Itu pula yang menjadi penyebab Hatta dibuang ke Boven Digoel, yang ganas dibanding pembungan Soekarno ke tempat yang lebih enak, karena menurutnya Belanda lebih takut dengan konsep mahasiswa tentang masa depan Indonesia.

Daoed Joesoef juga menyayangkan bahwa apa yang digagasnya untuk menumbuhkan komunitas intelektual di kampus, kampus dengan menyingkirkan kegiatan politk praktis bagi mahasiswa dalam masa baktinya sebagai menteri P dan K tahun 1978-1983, dengan harapan akan muncul konsepsi tentang masa depan bangsa Indonesia, sekaligus untuk menumbuhkan masyarakat sipil (civil Society) di Indonesia lebih cepat dipahami oleh Presiden Soeharto saat itu, dibandingkan pemahaman yang tumbuh di lingkungan kampus sendiri, termasuk para dosen dan cendikiawan di perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karena itulah kemudian Soeharto tidak mengangkatnya kembali sebagai menteri karena memahami potensi bahaya terbentuknya masyarakat sipil yang akan menjadi hambatan terhadap kekuasaanya yang menegasikan kelompok kelas menangah itu.

Apa yang dipaparkan mantan meneteri P dan K di masa Orba itu tentu bisa kita perdebatkan, karena selain sebagai menteri ia juga merupakan orang yang dibesarkan dan pernah memimpin CSIS, sebuah lembaga yang pada jaman Soeharto merupakan lembaga pendukung kekuasaan Soeharto yang digagas dan menampung intelektual di Indonesia. Sehingga akan sangat mudah muncul tudingan bahwa penjelasan Daoed Joesoef tak lebih dari pembelaan setelah semuanya terjadi. Tetapi setidaknya kita masih bisa mendengarkan penjelasan dari pelaku sejarah atas kebijakan dan apa yang terjadi di masa lalu, sebuah upaya yang harus dilakukan agar kita dapat menangkap dengan jernih lintasan sejarah bangsa, sekaligus menjadikanya sebuah pembelajaran.

Saat ini dan ke depan kita pun perlu untuk terus menggali proses-proses politik, sosial dan ekonomi yang terjadi tanpa perlu memupuk dendam apalagi kemudian menjadi bagian trauma bangsa yang malah membebani langkah kita ke depan. Catatan kritis tentang masa lalu adalah sebuah keniscayaan agar kita bisa memahami apa yang telah terjadi sekaligus melepaskan diri dari jebakan trauma represi kolektif. Dari sana kita bisa mengambil pelajaran yang baik maupun yang buruk dalam membangun kembali bangsa ini untuk menjadi masa depan yang lebih bermartabat dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, bahkan lebih jauh dapat memberikan sumbangsih untuk kemanusiaan.

Tentu saja semua itu hanya bisa kita lakukan jika seluruh perjalanan sejarah bangsa menjadikan kita semakin dewasa dan memampukan untuk menghasilkan karya-karya terbaik bangsa ini, untuk mengatasi dan memenuhi kebutuhan kita sebagai bangsa dalam segala bidang, sekaligus memberikan tawaran-tawaran kongkrit kepada dunia yang juga memerlukan hasil karya terbaik anak bangsa dalam bidang-bidang yang relevan. Terciptanya komunitas intelektual di kampus-kampus dan keberanian politik untuk mengambil langkah kongkrit atas berbagai permasalahan yang dihadapi adalah satu kesatuan, yang tak boleh menjadi halangan untuk kemerdekaan akademis dan politis baik di kampus maupun di wilayah yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline