Puasa di bulan Ramadhan seperti ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Ibu bangun jam 2 pagi, masak untuk kami. Lalu saat imsyak semua sudah selesai, bergegas ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Meskipun jarak rumah dengan masjid agak jauh, kami tetap semangat.
Rumah kami yang berada di pinggir kampung, minim penerangan lampu jalanan. Karena waktu itu listrik yang digunakan untuk penerangan jalan hanya di jalan utama. Bergegas kami ke Masjid.
Saat taraweh pula tak ada bedanya. Saat saya masih belum SD, kakak saya selalu mengajak sholat taraweh. Waktu itu kami membawa senter sebagai alat penerang. Jalan masih tanah, becek saat hujan. Kadang-kadang membawa payung ke masjid, kami tetap semangat.
Adik sayapun tak luput dari cerita pada bulan puasa masa kecil saya. Saat kakak kami sudah berkeluarga, Ibu kurang sehat, Bapak menemani ibu di rumah. Kami berdua ke masjid. Saat keluar rumah, Bapak berdiri di jalan depan rumah. Mengawasi kami berdua yang berjalan beriringan dalam gelap.
Memasuki Zona Gelap
Pernah suatu saat, adik saya mau tidur di masjid. Saya pulang sendirian dari masjid usai taraweh. Karena jarak rumah terakhir dengan rumah saya lumayan jauh, banyak pohon jati tinggi. Gelap, lampu di depan rumah masing-masing hanya 5 Watt, warna kuning. Jadi bisa dibayangkan suasana yang remang-remang merinding (hehehe).
Namanya juga anak kecil, masih punya rasa takut, sisa hujan yang jatuh di antara daun jati bunyi 'pating tlethok', membentuk irama tersendiri. Sambil jalan saya membayangkan ada bayangan syetan warna hitam, tinggi besar menghadang saya. Padahal syetan tidak punya bayangan, ya? Namanya juga imajinasi anak zaman 'old' waktu itu.
Saat akan memasuki zona gelap, saya sudah deg-degan. Padahal waktu itu hujan, jalan masih tanah, basah dan becek. Saya lari seribu langkah. Wussshh!
Pas sampai jembatan kayu kecil saya terpeleset. Sandal jepit saya terselip di antara jembatan kayu tersebut. Saya panik, antara takut dengan kemunculan bayangan hitam yang mungkin saja tiba-tiba menghampiri saya dan ingin berlari.
Akhirnya saya lari, tak memerdulikan sandal tinggal satu yang saya pakai sambil teriak, "Bapak, Bapak, Bapak!" Begitu. Dasar nasib orang takut ya, karena sandal yang saya pakai tinggal satu, saya malah terpeleset.
Bruk!