Lihat ke Halaman Asli

Magelang, Bagian Sejarah Kerajaan Medang

Diperbarui: 23 Maret 2018   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Mantyasih. Foto: Ummi Azzura

Bicara  Magelang seperti tak ada habisnya. Ibarat mata air yang terus  mengalirkan kesejukan airnya yang jernih. Banyak sejarah tertulis di  wilayah yang berada di tengahnya Pulau Jawa ini. Sebut saja Gunung Tidar  sebagai Pakuning Tanah Jawa, di sini ada sejarah penyebaran Agama Islam  di Pulau Jawa. Prasasti Tuk Mas yang merupakan prasasti yang dipahat  pada batu alam besar dan berdiri di dekat mata air. Ditemukan di Dakawu,  Lebak, Grabag, Magelang. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara  Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta. Diperkirakan prasasti ini  dikeluarkan pada abad ke-6 hingga ke-7 M.

Ada lagi  Prasasti Canggal di halaman Candi Gunung Wukir di Kadiluwih, Salam,  Magelang. Prasasti ini disebut juga Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti  Sanjaya. Di Kota Magelang juga ditemukan Prasasti Mantyasih yang  ditemukan di Meteseh, Magelang Tengah, Magelang. Prasasti ini disebut  juga Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu yang berangka tahun  828 Saka atau 907 M.

Banyak  sekali jejak sejarah ditemukan di sini. Artinya, zaman dahulu Magelang  merupakan salah satu tempat di mana kerajaan Medang berada. Di antara  prasasti-prasasti tersebut menyebutkan hal-hal yang saling berkaitan.  Mulai dari Kartikeyasingha dan Ratu Jay Shima permaisurinya (Kalingga)  hingga Rakai Watukura Dyah Balitung (Medang i Poh Pitu).

Prasasti Canggal

Prasasti  Canggal yang dikeluarkan pada tahun 732 pada bait 10-11 menyebutkan,  Sanjaya bukan merupakan putra Sanna, melainkan keponakannya. Hal ini  dapat dipastikan berdasarkan kutipan prasasti Canggal pada bait 10-11,  sebagai berikut:

Prasasti Canggal. Sumber: kekunaan.blogspot.com

"Pengganti  Sanna yaitu keponakannya bernama Sanjaya yang diibaratkan matahari.  Kekuasaan tidak langsung diserahkan oleh Sanna kepada Sanjaya, tetapi  melalui kakak perempuannya (Sannaha)."

Kutipan di  muka menegaskan bahwa Sanjaya merupakan pewaris tahta Kerajaan Medang  dari Sanna. Sementara, berdasarkan Carita Parahayangan (naskah Sunda  Kuno) yang digubah pada akhir abad ke-16 tersebut mengisahkan sejarah  tanah Sunda, terutama mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda,  yaitu Galuh dan Pakuan. Naskah tersebut pula menerangkan bahwa Sanjaya  yang sewaktu menjadi raja Sunda-Galuh memiliki dua putra dari permaisuri  Teja Kencana (cucu Mandi Minyak) yaitu Rakryan Panaraban (Tamperan) dan  Resi Guru Demuwan.

Selain itu,  Sanjaya yang kemudian menjadi raja Kalingga Utara juga memiliki seorang  putra dari Dewi Sudiwara bernama Rakai Panangkaran. Namun menurut  sebagian sejarawan, Rakai Panangkaran di sini tidak mengacu pada Dyah  Pancapana yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Sanjaya.

Prasasti Mantyasih

Dalam prasasti Mantyasih memuat daftar silsilah raja-raja Medang sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Dyah Balitung yang  merupakan menantu Mpu Teguh tersebut (raja Medang pasca Dyah Lokapala)  sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja  sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Medang.

Prasasti Mantyasih. Sumber: nurfaizianshori.blogspot.co.id

Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Dyah Balitung sebagai sima swatantra (desa perdikan/daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih  terdapat lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan  sima swatantra. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung  Susundara (Gunung Sindara) dan Wukir Sumbing (Gunung Sumbing).
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline