Bicara Magelang seperti tak ada habisnya. Ibarat mata air yang terus mengalirkan kesejukan airnya yang jernih. Banyak sejarah tertulis di wilayah yang berada di tengahnya Pulau Jawa ini. Sebut saja Gunung Tidar sebagai Pakuning Tanah Jawa, di sini ada sejarah penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Prasasti Tuk Mas yang merupakan prasasti yang dipahat pada batu alam besar dan berdiri di dekat mata air. Ditemukan di Dakawu, Lebak, Grabag, Magelang. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta. Diperkirakan prasasti ini dikeluarkan pada abad ke-6 hingga ke-7 M.
Ada lagi Prasasti Canggal di halaman Candi Gunung Wukir di Kadiluwih, Salam, Magelang. Prasasti ini disebut juga Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya. Di Kota Magelang juga ditemukan Prasasti Mantyasih yang ditemukan di Meteseh, Magelang Tengah, Magelang. Prasasti ini disebut juga Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu yang berangka tahun 828 Saka atau 907 M.
Banyak sekali jejak sejarah ditemukan di sini. Artinya, zaman dahulu Magelang merupakan salah satu tempat di mana kerajaan Medang berada. Di antara prasasti-prasasti tersebut menyebutkan hal-hal yang saling berkaitan. Mulai dari Kartikeyasingha dan Ratu Jay Shima permaisurinya (Kalingga) hingga Rakai Watukura Dyah Balitung (Medang i Poh Pitu).
Prasasti Canggal
Prasasti Canggal yang dikeluarkan pada tahun 732 pada bait 10-11 menyebutkan, Sanjaya bukan merupakan putra Sanna, melainkan keponakannya. Hal ini dapat dipastikan berdasarkan kutipan prasasti Canggal pada bait 10-11, sebagai berikut:
"Pengganti Sanna yaitu keponakannya bernama Sanjaya yang diibaratkan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan oleh Sanna kepada Sanjaya, tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha)."
Kutipan di muka menegaskan bahwa Sanjaya merupakan pewaris tahta Kerajaan Medang dari Sanna. Sementara, berdasarkan Carita Parahayangan (naskah Sunda Kuno) yang digubah pada akhir abad ke-16 tersebut mengisahkan sejarah tanah Sunda, terutama mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda, yaitu Galuh dan Pakuan. Naskah tersebut pula menerangkan bahwa Sanjaya yang sewaktu menjadi raja Sunda-Galuh memiliki dua putra dari permaisuri Teja Kencana (cucu Mandi Minyak) yaitu Rakryan Panaraban (Tamperan) dan Resi Guru Demuwan.
Selain itu, Sanjaya yang kemudian menjadi raja Kalingga Utara juga memiliki seorang putra dari Dewi Sudiwara bernama Rakai Panangkaran. Namun menurut sebagian sejarawan, Rakai Panangkaran di sini tidak mengacu pada Dyah Pancapana yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Sanjaya.
Prasasti Mantyasih
Dalam prasasti Mantyasih memuat daftar silsilah raja-raja Medang sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Dyah Balitung yang merupakan menantu Mpu Teguh tersebut (raja Medang pasca Dyah Lokapala) sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Medang.
Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Dyah Balitung sebagai sima swatantra (desa perdikan/daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima swatantra. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara (Gunung Sindara) dan Wukir Sumbing (Gunung Sumbing).