Bangsa Indonesia memiliki persoalan yang sangat kompleks, semisal: kesenjangan ekonomi, sosial, politik, ketidakadilan hukum, korupsi, kerusakan lingkungan, penyalahgunaan narkoba, pornografi di kalangan pelajar, tawuran pelajar, pemerkosaan, serta kekerasan di muka umum. Persoalan bangsa ini akan memengaruhi pola pikir dan pemahaman masyarakat. Di mana perilaku masyarakat yang santun, selalu mengedepankan musyawarah mufakat, kearifan budaya lokal, toleransi, dan gotong royong telah bergeser ke arah sikap mengutamakan kepentingan sendiri, saling mengalahkan dan menyalahkan, serta tidak jujur.
Persoalan di muka jika dikaitkan dengan dunia pendidikan sangat memengaruhi tidak suksesnya proses pendidikan di dalam menyiapkan peserta didik berkarakter bila tidak diatasi. Demikian pula amanat Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ingin mewujudkan peserta didik yang berakhlak mulia, berpengetahuan cerdas, serta berkepribadian tinggi tidak dapat dicapai.
Pencapaian amanat undang-undang sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni: pertama, faktor internal. Di mana institusi pendidikan yang berupaya untuk menyiapkan peserta didik berkarakter agar mampu hidup di lingkungannya serta tidak mudah terpengaruh sering terhambat dengan faktor lingkungan luar yang tidak selaras dengan ajaran di sekolah.
Kedua, faktor eksternal. Di mana lingkungan peserta didik berinteraksi dengan orang lain tidak sesuai dengan bimbingan institusi pendidikan. Apa yang dilihat dan didengar bertentangan. Lingkungan dan institusi pendidikan saling berseberangan. Hingga peserta didik mudah terpengaruh, tidak memiliki karakter dan jati diri. Kekurangsesuaian ini menjadi persoalan dan tanggungjawab besar pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk menyelaraskannya berdasarkan amanat pendidikan.
Tawuran Anak SD
Secara faktual bahwa banyak pelajar yang tidak memiliki karakter dan jati diri masih mudah terpengaruh dengan perilaku kekinian, salah satunya tawuran.Tawuran seperti jamak terjadi di kalangan pelajar. Hampir setiap hari ada saja berita tentang tawuran pelajar. Pun tidak terdengar, disebabkan tenggelam oleh berita politik atau video-video viral yang kurang kebermanfaatannya.
Seringnya terdengar berita tawuran menjadikan masyarakat menganggap tawuran sebagai satu hal yang umum terjadi. Tapi bagaimana jika tawuran itu terjadi di kalangan anak SD. Baru-baru ini, di salah satu kota di Jawa Tengah terjadi tawuran di kalangan pelajar Sekolah Dasar. Tidak tanggung-tanggung, pelajar SD ini membawa senjata tajam ketika akan melakukan tawuran. Sajam yang diamankan berupaa 3 buah gir sepeda motor bertali dan 1 buah palu besi. Kemudian 2 buah sabit dengan gagang dari paralon.
Miris sekali menyaksikan dan mendengarkan berita ini. Anak SD yang seharusnya menikmati tahun-tahun emas dalam perkembangan justru turun ke jalan melakukan hal yang tidak positif, tawuran. Anak-anak yang sedang tumbuh seolah kehilangan jatidiri sebagai anak-anak yang masih meler ingusnya. Ngompol saat tidur malam hari dalam pelukan ayah-ibunya.
Pelajar ini menjadi generasi ikut-ikutan yang tidak berpendirian teguh. Pastinya mereka melihat dan mendengar apa yang dilakukan oleh generasi di atasnya (baca: pelajar sekolah menengah) kemudian menirukannya. Tanpa tahu apa sebenarnya yang mereka lakukan.
Munculnya kecenderungan perilaku kekerasan yang terjadi pada pelajar SD tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang semakin menggerus budaya bangsa. Sehingga segala sesuatu yang bersifat kekinian menjadi hal membanggakan dibanding kebanggan terhadap prestasi. Hal ini bisa ditangkap sebagai wujud kemerosotan pendidikan dan peradaban.
Anak-anak Indonesia yang seharusnya sedang giat belajar dan meraih prestasi seperti tidak tercatat di dalam kamus anak-anak. Mereka menganggap bahwa budaya belajar, tekun, cerdas, berakhlak, penurut pada guru dan orang tua, mendapat pendidikan karakter tersebut kurang 'keren' dan 'ndesa'.