Lihat ke Halaman Asli

Nglathak, Pilihan Bijak Makan Sate Klathak

Diperbarui: 25 Januari 2017   05:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sate Klathak. Foto: Hendra Wardana

Yogyakarta adalah kota budaya, kota pelajar, serta segudang sebutan lain. Tak salah jika banyak lagu dilantunkan dengan judul Yogyakarta. Tak salah juga jika kota ini dikatakan sebagai surganya kuliner. Bagaimana tidak, jika kita berada di Yogyakarta, kita akan dimanjakan dengan berbagai macam makanan. Mulai dari makanan pedagang kaki lima hingga restoran besar. Lidah kita akan dimanjakan dengan berbagai suguhan yang menggugah selera.

Gudeg yang sangat terkenal. Ingat Yogyakarta berarti ingat Gudeg, Bakpia, juga Geplaknya. Tak ketinggalan sate Kere dan sate Klathak. Sate Klathak yang konon akan berbunyi ‘klathak-klathak’ ketika dibakar. Sate yang khas ditusuk dengan jeruji besi, sehingga matangnya bisa lebih merata. Selain itu sate ini sangat nikmat, walau konon, tanpa dibumbui rempah lain selain garam. Wow... Sungguh makanan yang membuat penasaran, membuat keinginan untuk segera menikmatinya.

Pucuk dicinta ulampun tiba, disaat keinginan itu ada, undangan makan klathak tiba di atas meja. Teman-teman Kompasianer Jogja mengajak ‘Nglathak’, istilah yang dipakai, untuk makan sate klathak bersama. Di sebuah tempat makan yang telah ditentukan, yaitu Warung Nglathak.

Membayangkan sate klathak di depan mata, pastilah akan saya temui sebuah warung dengan tempat pembakar sate di depannya. Arang yang menganga serta kipas penjual yang tak pernah berhenti demi menjaga api tetap menyala. Tempat dengan meja kursi kayu lawas dengan aroma khas kambing muda. Hingga pada akhirnya, bayangan saya itu terpatahkan. Setelah saya sampai di tempat, Warung Nglathak, berbinar mata saya melihatnya.

Di sebuah gang yang sejuk, jauh dari hiruk pikuk, lalu lalang kendaraan. Sebuah tempat makan berasitektur minimalis di Jl. Gambir Karangasem Baru Gg. Seruni No. 7, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Tempat ini berada di utara selokan mataram, sebelah utara Fakultas Teknik UNY. Nglathak nama rumah makan ini. Sekali lagi kesan sejuk menyambut kehadiran siapa saja yang ingin berkunjung dan makan di tempat ini. Tidak ada panggangan atau tempat membakar sate di depannya. Tidak ada asap yang mengepul dari dalamnya. Suasananya sangat nyaman dan enak untuk sekadar ngobrol sambil menikmati sate klathak, menu andalannya.

Warung Nglathak Tengah Kota. Foto: Hendra Wardana

Mas To’ sebagai pemiliknya, rupanya membidik mahasiswa dan pelajar sebagai konsumennya. Hal ini bisa dilihat dari desain interior di dalamnya. Dinding dengan berbagai tulisan yang bisa dipakai berfoto ria, selfie maupun welfie, oleh siapapun dan dari sudut manapun. Properti yang digunakan juga sangat minimalis praktis. Meski tempat tidak terlalu luas namun mampu menampung belasan pengunjung sekaligus.

Ternyata berbagai macam menu, yang terbagi sebagai Starters, Main Course, Drink, dan Dessert disiapkan di belakang, sehingga tidak mengganggu pembeli. Sate Klathak yang merupakan menu utama disiapkan tanpa harus menunggu waktu lama. Ada sate klathak original, sate klathak mozarela, juga sate klathak manis. Semua disajikan dengan manis, secara kekinian. Sungguh menarik pembeli untuk segera menikmatinya.

Menu Nglathak. Foto: Hendra Wardana

Selain sate, ada menu lain yang bisa dipesan di warung Nglathak ini. Bagi yang tidak suka sate bisa pesan Gulai jerohan kambing yang dipadu dengan kuah kental. Tongseng daging kambing yang empuk dengan kuah kecap yang ringan dan segar. Tengkleng juga tersedia berupa tulangan kambing dengan kuah panas dan pedas. Atau misalnya ada yang tidak suka daging kambing bisa pesan Ayam Goreng, diambil dari ayam organik, disajikan dengan lalapan dan sambal. Dengan rerata harga mulai dari 10K hingga 20K sangat terjangkau oleh kalangan pelajar dan mahasiswa.

Tongseng Empuk Nglathak. Foto: Umi Azzura

Jika khawatir makan sate klathak dan menu kambing lainnya menjadi darah tinggi atau kolesterol naik, tidak usah khawatir. Sebab penyajian aneka menu kambing dibuat tidak berlebihan dan secukupnya saja. Takarannya pas, rasa nikmat, dagingnyapun empuk, pas dilidah.

Sambil menunggu hidangan ini selesai disiapkan, kita bisa berbincang dengan kawan atau sahabat. Selain itu kita bisa membaca buku yang telah disediakan di setiap meja. Ada kantung-kantung buku di sana. Luar biasa, itu komentar saya. Meskipun ini sebuah tempat makan namun tetap menyediakan buku bacaan sebagai sarana pembuka cakrawala. Pengunjung menunggu tidak sekadar ngobrol atau sibuk dengan gadget namun bisa membaca buku untuk menambah wawasannya.

Buku disediakan di kantong baca setiap meja. Foto: Umi Azzura

Untuk menemani makan berbagai menu utama bisa pesan minuman berupa teh biru. Minuman khas yang recomended. Sebuah minuman dari seduhan bunga telang, yang ketika diseduh awal berwarna biru, setelah dicampurkan jeruk nipis berubah menjadi warna ungu. Rasanya segar, apalagi jika ditambahkan sedikit es. Minuman lain yaitu yogurt moringa dan yogurt bunga telang. Bunga telang ini menjadi andalan, bahannya diambil dari petani yang membudidayakannya. Tepatnya dari Kediri. Diramu sedemikian rupa sehingga tersajilah aneka minuman dari bunga Telang.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline