Lihat ke Halaman Asli

Amsal Daun Kering

Diperbarui: 9 Februari 2018   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: Dokpri"][/caption]Hembusan selaksa angin utara.Terbangkan kidung suci. Merapal bait-bait pujangga. Perempuan berkebaya kuthu baru tergesa meniti pematang ladang di ujung desa.

"Uma, 'mbok pelan-pelan to jalannya!" Inah menguntit perempuan di depannya. Bibirnya manyun. Tidak sabar dengan langkah kecilnya, ia angkat tinggi-tinggi kain yang dipakainya. Ikatan anggur hitam dalam bakul yang dipeluknya dengan lengan kirinya sedikit terburai.

Uma, perempuan yang di depan Inah terus berjalan. Tak memerdulikan teriakan Inah yang sedari tadi menguntitnya.
 "Kalau kamu capai, berhentilah," ucap Uma datar.

Sejurus kemudian, "biyungalah....!" Inah hampir jatuh. Menabrak Uma yang berdiri tegak di depannya.

"Kamu itu ada apa, to? Tadi buru-buru seperti dikejar maling, tiba-tiba berdiri grek seperti patung. Aku hampir jatuh ini, lo!" Gerutu Inah, sambil mengambil anggur-angur dan bunga yang sempat jatuh ke tanah.

Uma terdiam, ia tak peduli dengan omelan Inah. Perlahan-lahan ia ambil tusuk konde dari gelungan rambutnya. Hitam dan bergelombang rambutnya terurai. Tatapnya lurus. Sendu, namun ada kerinduan yang ia simpan dalam bening bola matanya. Rambutnya riap-riap tersapu angin. Menutup sebagian wajah yang menyisakan ayu keibuan.

Ia selipkan sekuntum kamboja putih di telinga kirinya. Bersedekap, memeluk selendang beledu tipis warna biru. Semakin erat, lalu dikalungkan di lehernya.

Matanya berkaca-kaca. Uma mengambil sebatang rumput liar berbunga kuning gading. Ia pilin berulang-ulang. Ia pandang. Sesekali menghela nafas panjang. Perlahan ia hembuskan. Terdengar berat.

Kaki bersihnya yang tanpa alas kaki ia celupkan dalam 'blumbang' kecil di depan gubug bambu kecil, tempat di mana ia sering menghabiskan waktu sendirian.

Jari-jarinya yang lentik membersihkan balai-balai itu. Inah hanya diam, melihat Uma seperti bercerita pada apa yang dipegangnya.

Uma duduk.  "Siwa," gumamnya lirih.

Menuai padi seperti yang menjadi inginku, maumu
Mimpi anak desa yang bermain rumput alang-alang
Janji berdua di kehidupan dewasa
Kau sematkan pada mahkota dedaun di kepala

Tapi Siwa, ladang ini tinggal jerami
Kerontang seperti danau di mata ini
Tak gembur, subur, penuh cinta
Tinggal kenang dalam diam
Bersemayam di kalbu

Aku daun kering
Diterbang angin
Dihempas badai
mencari hingga menemukanmu di bilik hatiku

Semilir angin sore, bersiutan. Burung-burung terbang rendah di atas ladang, bersegera pulang ke sarang. Matahari ke peraduan.

Pohon kelapa membayang. Menutup samar muka Uma. Mata Uma menganak sungai basahi kain sido muktinya.

***
 Pematang, 05042016-09022018
 Umi Azzura




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline