Lihat ke Halaman Asli

Sumi DS

Sisyphus

Membaca Buku "Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci" sebagai Representasi Sastra

Diperbarui: 5 Maret 2022   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberhasilan seorang penulis adalah ketika ia menjadi pembaca dan pendengar yang cerdas. Made Adnyana Ole (selanjutnya disebut Ole) salah satunya. Ole mampu menjadi pendengar sekaligus perekam yang cerdas dari seorang kakek yang sejak ia kecil sangat senang sekali mendongeng apapun. Meski demikian Ole sadar bahwa tidak mudah menuliskan kembali cerita-cerita itu tanpa menemukan satu pola hingga cerita masa silam menjadi sajian cerita yang menghadirkan kebaharuan.

Buku kumpulan cerpen yang berjudul Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci adalah salah satu bentuk pendokumentasian dongeng-dongeng yang didengar dari kakeknya atau bahkan dilihat dan rasakan secara langsung oleh Ole. Dalam bukunya, ia berusaha menarik relevansi antara cerita masa lampau dengan kondisi pada saat ini dalam semua ceritanya. 

Ole sepertinya juga ingin menguatkan identitasnya sebagai sastrawan yang lahir dan tinggal di Bali melalui buku Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci. Hal ini nampak dalam pemilihan latar, setting, dan beberapa nama tempat juga tokoh untuk setiap cerpennya. Selain membuat pembaca menikmati cerpen yang sebagian besar bertutur tentang peristiwa tahun 1965 dan trauma-trauma yang melekat akibat peristiwa tersebut, Ole juga menyisipkan pada setiap cerita soal adat, budaya, dan kultur dari tempat kelahirannya. 

Keunikan yang khas dari buku Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci adalah terletak pada narasinya. Hal tersebut terlihat hampir seluruh cerpen memiliki narasi-narasi yang kuat dan tidak klise. Kita bisa membaca pada paragraf pertama cerpen berjudul Terumbu Tulang Istri:

"Apakah tubuh menggiring perahu atau perahu menyeret tubuh, dari tepi ke tengah laut? Kayan tak pernah bertanya. Satu hal yang ia tahu, tubuh dan perahu seakan memilih rasa pedih dan ngilu yang sama -- pedih dan ngilu yang meluncurkan mereka dalam satu garis lurus di atas landai ombak, di laut utara, saban pagi, saban matahari memanjat langit di terang timur." [hal: 1]

Atau pada cerpen berjudul Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci:

"Tubuh mungil gadis itu ditusuk pedang cahaya ketika sinar purnama menerobos di sela ranting gaharu. Cahaya memantul dari tubuhnya hingga hutan kecil di tepi Kota Kecil menjadi lebih cerah. Balutan putih di seluruh tubuh memperjelas semua geraknya. Gadis itu melompat, seakan terbang, dari rimbun ke rimbun. Dari rimbun kesembilan ia melompati gerbang kota, lalu melompati tembok padas, dan menyelinap ke dalam tempat suci di tengah kota." [hal: 19]

Dari sembilan cerpen dalam buku Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci, narasi pembuka pada kedua cerpen tersebut mewakili sebuah pembuktian bahwa Ole tidak hanya selesai dalam masalah teknis menulis cerita pendek namun juga cerdik merangkai frasa-frasa menjadi kalimat yang kuat dan efektif. Dan tidak mengherankan karena selain menulis cerita pendek, Ole tercatat sebagai seorang penyair yang diperhitungkan di Bali. Sehingga hal ini bisa menjadi salah satu pembeda antara dirinya dengan penulis cerpen lainnya. Anasir-anasir puitik jelas terasa dalam cerita pendek yang ia tulis.

Sebagai sebuah buku kumpulan cerpen yang hanya berisi sembilan cerita pendek, buku Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci cukup merepresentasikan bahwa sastra layak memiliki posisi yang tinggi karena kesembilan cerpen Ole berhasil merangkul berbagai hal dari segala aspek. Bahwa sastra tidak hanya sekadar sebagai hiburan melainkan sebagai tempat mengulik sejarah, kritik terhadap tradisi, agama, politik, atau sebuah tatanan. Bahkan sastra juga bisa menjadi tempat menyuarakan hal-hal yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat namun pada kenyataannya terjadi di sekitar kita dan tak banyak orang yang berani mengungkapnya.

Buku Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci adalah salah satu buku yang patut mendapat apresiasi karena Ole berusaha menemukan dan membangun sebuah jembatan penghubung antara masa lalu dengan masa kini melalui pola mencari keterkaitan dari keduanya dalam setiap cerita yang ditulisnya sehingga dapat dinikmati oleh berbagai generasi. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline