Kebudayaan menawarkan sisi orisinalitas ke-sejatian diri manusia. Budaya menjadi guide yang menuntun akal budi pada prosesi mencapai humanisme, sentuhan antara alam dengan rasa manusia.
Di era global, dimana negara terkuatlah yang membombardir serangan lewat kebudayaan, meracuni generasi muda dengan produk kultur impor –internasionalis, sehingga, masyarakat terasing dengan kebudayaan tradisi, yang telah melekat dalam jiwa . Budaya sebagai akar kebiasaan masyarakat dalam menghadapi tantangan kehidupan, terkadang dijadikan sebagai alat politik, nilai kuasa, atau bahkan sebagai panglima dalam proses pembangunan.
Sejak era industri, di berbagai wilayah di Indonesia bergulir, kebudayaan terasa terpinggirkan, ekonomi –materialistic sebagai orientasi utama proses penyempurnaan manusia. Kota yang dianggap sebagai sentral keadaban, segalanya telah menyebarkan spirit baru yang terkadang class dengan kultur atau alam perdesaan.
Efek samping dari era industri adalah, tampilnya, generasi muda, yang jauh dari ke-sejatian diri sebagai manusia. Tokoh-tokoh animasi , kartun asing, film asing, yang muncul sebagai resiko pergaulan dunia, telah mengalahkan produk asli, lokal, yang juga sarat dengan nilai. Seni tradisional dinggap kurang bersahabat dengan generasi muda, karena terasa kurang menarik bagi generasi saat ini.
Upaya mengejar keutungan materi tanpa disertai kesimbangan spiritual, telah merusak alam dan kepribadian yang miskin dari prinsip dan nilai luhur. Atau bahkan melupakan peran murni manusia untuk memelihara alam. Gunung, sungai, tanah lapang sebagai anugerah, telah dihancurkan untuk sebuah dalih peningkatan pendapatan asli daerah. Kekayaan alam, sebagai asset daerah, mata air, sungai telah diprivatisasi..
Resiko, model seperti inilah, yang berhilir pada persoalan moralitas, kebudayaan, dan kerusakan pada spirit- ruhani masyarakat.
Prosesi indsutrialisiasi hingga ke jantung perdesaan dan spirit manusia, telah melukai, komunitas adat, tradisi, bahkan keyakinan sebuah aliran yang menebar di bumi Nusantara. Situs-situs sejarah, penuh dengan ajaran, wejangan, dan kisah hebat, seperti Situs Majapahuit Trowulan, pun dihadapkan pada kepentingan industri.
Rencana pembangun pabrik baja di kawasan ini, dianggap akan merusak dan mengorbankan Trowulan. Sampai saat ini, pemerintah pun, belum bersikap tegas, terhadap upaya perlindungan Situs Majapahit Trowulan di Mojokerto.
Kabupaten Mojokerto kaya dengan situs peninggalan bersejarah era Majapahit. Peninggalan pusat pemerintah Majapahit ini, terdapat sekitar 400 situs sejarah yang telah terselamatkan dari upaya marginalisasi hingga penghapusan atas nama pembangunan ekonomi, dan industri. Sampai saat ini, elit pusat belum juga bersikap tentang kepentingan nasonal trehadap peninggalan Majapahit.
Perlahan tapi pasti, sepertinya hasil kebudayaan lokal, mencapai kelangkaan karena sikap elit yang kurang peduli. Ideologi politik ekonomi yang menekankan atau bahkan menuhankan materi telah melupakan sejarah, peran dan fungsiutama kebudayaan. Kebijakan presiden terhadap situs-situs peninggalan bersejarah, belum jelas. Situasi ini, menjadi faktor pendorong sejumlah elit lokal untuk berkreasi dan mengambil inisiatif menyelamatkan situs Trowulan, sebagai cagar budaya nasional.
"Saya orang asli Mojokerto dan sepenuh hati mencintai Majapahit karena mereka nenek moyang kita," ujarnya. Bahkan ia menuturkan dirinya telah melakukan pelestarian aset seni dan budaya di 400 tempat di Mojokerto selain di Trowulan. "Semua saya biayai pribadi," kata Mustofa Bupati Mojokerto, suatu ketika pada media.
Mungkin, sulitnya menitipkan agenda pada pemerintah pusat sekelas presiden, membuat budayawan atau seniman lokal memilih bersikap memperjuangkan kelestarian budaya dengan terjun ke kancah politik. Atau paham formalistic keagamaan yang menjadi faktor menafikan budaya dan peninggalan bersejarah. Lalu, lewat jalan kekuasaan, kebijakan yang bersandar pada kebudayaan dan kebudayaan yang bersandar pada nilai-nilai agama, bisa menjadi jalan hidup masyarakat, tanpa kehilangan jati diri.
Sosok dalang Edan Ki Enthus Susmono, menjadi bukti atas upaya untuk menampilkan kembali seni tradisional wayang. Seniman wayang yang menjadi Bupati Tegal ini langsung, membangun konsorsium wayang, menyelenggarakan Sinden Idol di Jawa Tengah, dan mengalokasikan 30 persen dari 1,3 triliun APBD Tegal, untuk kegiatan seni dan budaya.
Figur kepemimpinan dalang edan ini, berupaya menampilkan wayang tradisi dari Pantai Utara, sebagai upaya tandingan, atau penyeimbang terhadap pengembangan budaya asing. Ki Enthus, sepertinya menyadari betul, proses marginalisasi budaya oleh serbuan budaya pop yang digandrungi muda-mudi. Kuliner, fashion, film, life style impor lebih disukai ketimbang produk daerah . Gaya tarian Korea, American Idol, wayang Mahabarata India, dan tayangang impor lainnya juga telah menggeser seni tradional jawa—khazanah cultural keindonseiaan.
Bahkan untuk mencari pesinden muda, di Jawa sudah menjadi barang langka. “Kalo sinden diambil alih, diakui oleh orang lain negara lain, baru ribut,” ujar Enthus. Langkahnya, membuat berbagai kreasi daerah sebagai solusi yang real terhadap fakta sebuah kebudayaan asing lebih disukai dan menguasai generasi muda.
Konsorsium wayang di rumahnya dibangun sebagai solusinya atas kemiskinan kebijakan tentang pengembangan budaya. Setidaknya, wayang sebagai budaya tetap terpelihara.
Langkah politik dalang Edang, tentu bukan jurus politik dari revolusi kebudayaan ala Mao di China, yang merevolusi kebudayaan dengan mengorbankan rakyatnya. Atau menjadi mendiang Presiden Soeharto yang selalu berpijak pada kebudayaan Jawa sebagai sumber inpirasi nilai kepemimpinan dan kebijakan . Setidaknya, Ki Enthus sedang, meyakinkan rakyatnya, agar kembali pada budaya –jati diri budaya yang sarat dengan nilai dan moral mulia.
****
Lewat seni tradisonal wayang, Ki Enthus memamparkan-ngudar piwulang tentang banyak hal. Life style, Ki Entus pun menampilkan fashion, logat bicara yang membumi dnegan kukltur Jawa, ruh kepmimpinan juga jawa tradisional yang berpijak pada nilia-nilai mahabarata-ramayana.
Enthus menguraikan program unggulannya yang dinamakan empat cinta. Yakni, cinta pelayanan publik, cinta produk lokal, cinta desa, dan cinta budaya.
Masih dalam lintasan Pantura, Purwakarta, salah satun Kota Pasundan, Jawa Barat sebagai salah satu basis Sunda Wiwitan juga tengah bergiat kembali berorientasi pada budaya Sunda sebagai falsafah hidup dan sumber kebijakan. Kang Dedi, yang juga dikenal sebagai budayawanpenyair, kembaliconcern dengan budaya sunda, sebagai kultur tanah air.
Kang Dedi yang dinobatkan sebagai pejuang revolusi budaya karena jasanya dalam mengembalikan gairah budaya sunda. Jati diri tanah air Sunda mulai dari pakaian (fashion), kuliner, dan nilia-nilai yang mesti dianut kembali. Atau boleh jadi, sedang melakukan re-aktualisasi Sunda, sebagai pilar-pilar kebudayaan di Jawa Barat.
Kang Dedi, telah mengganti salam islami dengan salam cultural. Tepat pada hari pendidikan nasional. Kang Dedi, menyampaikan salam sunda, pada anak-anak pelajar sekolah. Mungkin, Kang Dedi tengah mencoba berusaha mengembalikan jati diri “manusia purwakarta” pada sisi manusia sunda seutuhnya. Secara pelan tapi, pasti, cultural sunda mulai dibangkitkan lewat gaya hidup—life style Kang Dedy. Kuliner, fashion, hobi, tari, semua serba sunda.
Sunda, sebagai konsepsi “falsafah universal rasa” dijahit kembali lewat jalan politik local. Kekuatan politik Kang Dedi menjadi energi yang menyengat nyetrum ke berbagai sisi kehidupan sunda. Moment reformasi, dan spirit otonomi daerah, adalah kesempatan bagi kepala daerah,pemimpin lokal untuk bisa berkespresi secara bebas sampai pada label “bupati-bupati nyentrik” dan label serta identitas serba lokal.
Meski, bukan seniman wayang, Kang Dedi komitmen pada dunia wayang. Ki Enthus membangun konsorsium wayang, Kang Dedi membangun simbol-simbol tokoh-tokoh wayang. Patung Arjuna, Bima, Yudhistira, atau Dharmakusuma atau Samiaji, Gatotkaca,Semar,Bima. Semua itu, melambangkan tata nilai peradaban yang masih adaptif dengan perubahan zaman. Wayang golek, wayang kulit Sunda lebih dapat diterima oleh mind sett dan trend masyarakat yang terus mengalami modernisasi. Tetapi secara nilai, prinsip dan ajaran masih relevan, sebagai prinsip-prinsip kebijakan pada era transisi industrialisasi di Purwakarta.
“Budaya bukan hal yang harus dilestarikan tetapi budaya harus menjadi sistem nilai kebijakan. Di Pemkab Purwakarta sendiri itu relatif sedikit demi sedikit sudah mulai diterapkan dalam sistem nilai kebijakan, walaupun pada awalnya banyak mengalami perbedaan pemahaman tetapi setelah diterapkan selama 4 tahun ini pemerintah menjalankannya secara komprehensif ternyata sistem kebudayaan itu diwujudkan dalam sistem pemerintahan, bisa melahirkan pelayanan pemerintahan yang baik." ujar Kang Dedi.
Seruan kembali pada jati diri Sunda, mengingatkan akan teori class of civillizion (benturan peradaban) Samuel Hungtinton. Setidaknya, budaya bisa dijadikan sumber-sumber spirit baru sebagai solusi keadaban masyarakat, bukan ? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H