Lihat ke Halaman Asli

Relasi Antara Pendidikan dan Kemiskinan di Pulau Sumba, NTT

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14262829871807002824

[caption id="attachment_402691" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi/kompasiana(kompas.com)"][/caption]

Berikut adalah potret pendidikan di Sumba Timur menurut BPS pada tahun 2012, dimana persentase penduduk yang berumur diatas 10 tahun yang tidak bersekolah lagi sekitar 58.3 % dan yang tidak memiliki ijazah sekitar 46.83 %. Hal yang paling menyedihkan adalah presentase buta huruf adalah 12.14%. Angka ini masih tinggi bila dibandingkan rata-rata persentase jumlah buta huruf di NTT (9.70%).

Apa dampaknya bila pendidikan tidak diperhatikan?? Bagaimana dengan Sumba Timur bila hampir setengah bagian penduduknya tidak bersekolah? Saya coba menjelaskan akibatnya dengan pola pikir sebagai orang awam. Salah satu contoh, bila tidak bersekolah maka saya akan tidak akan mendapatkan ijazah untuk bisa melamar sebuah pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan saya tetap tinggal dalam lingkaran kemiskinan dan susah memberikan asupan makanan berigizi buat keluarga saya.

Bisa dibayangkan di Sumba Timur setengah bagian penduduknya tidak memiliki ijazah artinya susah mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka tidak mampu memberikan nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Tidak heran bila gizi buruk terjadi di Sumba dan akibatnya Sumba sedang kehilangan generasi muda berikutnya. Siklus ini akan berulang terus-menerus seperti lingkaran setan dan kita berhasil mendapat predikat sebagai area termiskin di Indonesia dari tahun ke tahun. Selamat!!!

Ada pertanyaan bahwa mengapa orang miskin selalu miskin. Berdasarkan sebuah penelitian di Amerika Serikat mereka mengatakan bahwa itu karena ketidakmampuan orang miskin dalam menggunakan semua pelayanan dan fasilitas yang ada, notabene sistem pendidikan di Amerika sangat luar biasa maju. Tapi saya rasa mereka akan mencabut pernyataan mereka saat datang ke desa-desa terpencil di Sumba Timur. Dimana anak-anak harus berjalan berkilo-kilo meter untuk ke sekolah dan kemudian pulang ke rumah lalu membantu orang tua mereka untuk mengambil air yang juga tidak kalah jauh dengan sekolahnya. Belum lagi sampai di sekolah mereka harus menunggu gurunya karena harus mengajar dua atau tiga kelas secara bersamaan.

Disinilah peran pemerintah dalam membangun sebuah sistem khususnya dalam pendidikan agar semua orang masuk dalam sistem itu dan tidak ada lagi buta huruf. Kedengaran seperti terlalu berpengharapan besar pada pemerintah?! Ya betul!!! Itulah fungsi pemerintah digaji dari pajak masyarakat untuk membuat suatu sistem dimana bisa mensejahterakan rakyatnya. Dan tentunya peran serta masyarakat tidak bisa dipungkiri mempunyai andil dalam pemberantasan buta huruf. Sebagai salah satu warga Sumba, saya percaya bahwa suatu saat Sumba bisa keluar dari predikat itu dan dengan kerendahan hati saya ingin memberikan opini untuk itu. Berikut opini saya:

1. Tegakkan Peraturan Pemerintah No. 47/tahun 2008 tentang Wajib Belajar

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselengggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya dan setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar wajib mengikuti program wajib belajar (http://www.academia.edu/5082350/Peraturan_presiden_mengenai_wajib_sekolah). Berangkat dari peraturan tersebut maka persiapkan satpol PP atau linmas untuk memantau siswa yang berusia wajib belajar agar berada di sekolah. Memantau di desa-desa terpencil para orang tua agar tidak menahan anaknya untuk bersekolah demi bekerja di kebun. Memberi sanksi pada orang tua yang tidak mengirim anaknya untuk sekolah minimal sampai tamat SD.

2. Kawal dana BOS

Pengawalan penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sehingga tidak ada lagi pungutan-pungutan liar lainnya. Jadi tidak ada alasan lagi para orang tua untuk tidak mengirim anaknya ke sekolah dengan alasan biaya. Dana sebesar ini sangat rentan dengan korupsi maka diperlukan hati nurani bahwa bila mengambil uang ini maka secara tidak langsung membunuh masa depan ratusan anak. Bertindak tegas terhadap oknum yang menggelapkan dana ini.

3. Pemerataan jumlah guru

Menurut BPS jumlah ideal guru dan murid adalah 1:20. Penyebarannya tidak merata di Sumba Timur. Perbandingan ini sangat tidak imbang dimana jumlah murid lebih banyak dari guru khususnya di daerah terpencil.

4. Sistem “reward and punishing” buat guru

Berikanlah penghargaan terhadap guru berprestasi bukan hanya dengan trophi tapi tabungan dalam jumlah yang besar atau mendapat fasilitas yang terbaik dalam kurun waktu tertentu seperti pelayanan rumah sakit dll. Tapi ada beberapa oknum guru yang nakal. Polanya adalah pada saat menjadi guru honorer mereka sangat rajin tapi setelah diangkat menjadi PNS mereka meninggalkan tugas selama berbulan-bulan. Alhasilnya satu guru dapat mengajar 3-4 kelas dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu dinas PPO harus bertindak keras terhadap oknum-oknum ini. Inspeksi mendadak merupakan salah cara sangat ampuh untuk mengurangi tindakan indisipliner para oknum guru.

5. Pemberian beasiswa buat siswa dan mahasiswa berprestasi

Berilah beasiswa bagi para siswa yang cerdas. Melalui program kerjasama antara pemerintah daerah dengan universitas terkenal di Indonesia maka putri-putri terbaik Sumba bisa melanjutkan studinya. Pengaturan dana beasiswa sangat rentan terhadap korupsi dan sebaiknya pengaturan diberikan pada kontraktor pendidikan sehingga mereka bisa mengawal dana dan memberi perhatian lebih pada mahasiswa sehingga mereka bisa lulus dengan nilai terbaik. Hal ini bisa dicontoh dari pemberian beasiswa luar negeri seperti beasiswa PRESTASI dari USAID (http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/. Lakukan hal yang sama bagi siswa-siswa dari daerah terpencil untuk melanjutkan sekolah menengah di kota-kota terdekat.

6. Pembuatan kurikulum PPO tentang kemandirian siswa atau problem solving

Menodrong dinas PPO untuk membuat kurikulum tambahan atau local khususnya pada sekolah dasar yang menekankan pada kemandirian, kebebasan dengan batasan tertentu dan menghargai perkembangan anak sebagai individu yang unik. Karena pada usia ini dasar atau nilai kemandirian sangat penting untuk ditanamkan. Contoh model pengajaran ini adalah metode Montessori (http://www.parenting.co.id/article/usia.sekolah/ciriciri.metode.sekolah.montessori/001/004/244).

Bagi siswa menengah, penyediaan kurikulum tambahan dengan menggunakan sistem problem solving sangat penting. Contohnya pemberian project sederhana dalam satu semester seperti bagaimana menghasilkan hasil panen padi dengan menggunakan pupuk organik pada siswa yang tinggal di pedesaan. Dan contoh lain yang dapat diberikan adalah berdasarkan masalah atau tantangan pada kehidupan sehari-hari.

7. Mengajak tokoh masyarakat di setiap desa agar mendorong masyarakat bersekolah

Pengaruh kaum maramba dan kepala desa masih sangat kental khususnya di daerah terpencil. Oleh karena itu pemerintah menggandeng para tokoh masyarakat untuk mengajak orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah agar tetap menyekolahkan anaknya. Masalah ini tidak gampang diselesaikan dengan hanya kata-kata bila sudah berbicara menyangkut pendidikan buat kaum ata atau orang suruhan. Dibutuhkan kebesaran jiwa para tuannya untuk bisa merelakan “orang dalam rumahnya” agar bisa bersekolah.

8. Bekerjasama baik dengan NGO lokal dan International

Terdapat beberapa LSM baik berskala lokal maupun internasional yang mengangkat isu anak dan pendidikan. Bekerjasamalah dan sinergikan program-program pemerintah dengan program mereka agar saling melengkapi sehingga masalah pendidikan di Sumba bisa diatasi bersama.

Lepas dari semua opini-opini saya di atas, hanya ketulusan hati dan kebesaran jiwalah yang membuat kita bisa bekerja sama dan bahu-membahu agar Sumba bisa keluar dari kemiskinan dan “lost generation”. Salam!

Kontributor:
Putri Pandarangga

Sumber : http://sumba-community.weebly.com/artikel/pendidikan-dan-kemiskinan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline