Lihat ke Halaman Asli

Industri Musik Era Digital: Pentingnya Kesadaran & Edukasi tentang Kualitas Musik

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14279912411325979180

[caption id="attachment_358801" align="aligncenter" width="300" caption="Mas Iman & RigBy Band (dok.pri)"][/caption]

Bagi yang melewati masa remaja sama dengan saya, pasti tahu dan pernah ikut masuk dalam euforia kejayaan musik Indonesia. Menikmati sendunya suara Nike Ardila, cadasnya musik Dewa 19, ringan dan cerianya musik Sheila On 7, hingga pertengahan tahun 2000 sebelum masa kejayaan ini pelan-pelan surut ditutup dengan Ari Lasso engan sukses solonya dalam album Hampa (duh, ini kaset pita yang terakhir saya beli :D).

Masa kejayaan kaset pita berkahir dan beralih ke era CD, Peterpan dengan member versi lama adalah salah satu yang meraup sukses besar (nostalgia lagi, CD musik asli pertama yang saya punya dari uang sendiri pula, karena sudah kerja :P).

Sekarang? Rasanya sangat sulit untuk bisa menyamai lagi masa itu dari sisi penjualan album fisik. Di era serba digital sekarang terjadi perubahan besar, terutama soal media menikmati musik. Dengan kelebihan dan kekurangannya, era digital menjadi tantangan tersendiri bagi para label dan musisi tetap menciptakan karya dan content terbaik.

Dan Kompasiana Ngulik kembali hadir (27/3/2015) membahas masalah ini “Industri Musik di Era Digital” dengan menghadirkan Rigby Band dan Mas Iman dari Universal Music Indonesia.

Acara dimulai sekitar pukul 15.30 dengan lebih dulu perkenalan dengan Rigby Band dengan menyaksikan video musik mereka dan dilanjut dengan perkenalan para personel mulai Dika sang vocalis, Rio pada bass, Lian pada keyboard, Andy pada drum. Sedangkan Teddy sang gitaris yang juga inspirator single terbaru mereka “Tuhan Jangan Lama-lama” yang tidak bisa hadir digantikan aditional player. Single “Tuhan jangan lama-lama” sendiri sudah rilis sejak Februari lalu lo, dan mendapat sambutan positif dari penikmat musik Indonesia.

Rigby Band sendiri adalah jebolan ajang Meet The LAbels 2013 dan sekarang berada di bawah naungan Universal Music Indonesia yang mengontrak mereka berdasarkan single. Yah, salah satu dampak dari perubahan era, label musik kini lebih sering melakukan kontrak persingle lagu, bukan lagi berdasarkan album.

Mengamini penjelasan mas Iman, bahwa Rigby adalah band dengan tipikal mirip Sheila On 7, Rigby sendiri mangakui bahwa musisi lokal yang mereka idolakan dan memberi banyak inspirasi adalah Sheila On 7. Mereka juga sering tampil dengan mengcover lagu Sheila On 7 termasuk saat di Kompasiana Ngulik kali ini, mereka membawakan lagu “Hari Bersamanya”. Namun tetap dengan gaya dan ciri khas Rigby sendiri. Untuk musisi luar mereka terinspirasi dari salah satunya dari The Beatles. Mengusung nama Rigby yang berasal dari Bahasa Inggris kuno yang artinya “Penguasa” dan sempat “ribut” dengan sebuah Grup band dari luar negeri dengan nama yang sama. Tapi akhirnya semua terlewati.

Bagi Rigby, musisi dan grup band generasi baru era digital, banyak keuntungan yang membantu mereka berkarya di era digital sekarang. Antara lain membuat demo dan menolah lagu bisa dengan cepat. Dapat ide di mana saja, kapan saja dapat langsung direkam di smartphone.

Saat ini berbagai aplikasi pengolah musik dan lagu memang cukup banyak bertebaran diberbagai platform perangkat digital.

Rigby juga lebih mudah mencari refrensi dan inspirasi untuk diberbagai saraa digital seperti youtube dan lainnya.

Sekarang membuat proses rekaman penyanyi menjadi lebih mudah dan cepat dengan hasil maksimal. Dulu, mau rekaman saja susah cari studio, begitu ketemu masih harus antri. Ekarang kendala seperti ini sudah tidak ada lagi.

Untuk promosi juga lebih mudah, kalau dulu hanya ada TV dan radio, itupun masih sangat terbatas ruang dan waktu. Saya masih ingat dulu saat saya masih kecil kalau mau nonton TV harus ke rumah saudara dulu, acara musik seminggu antara sekali hingga dua kali. Radio juga salah satu andalan, bahkan menurut mas Iman hingga saat ini, radio adalah “sahabat abadi” musisi dan label. Apalagi di era acara TV yang serba variety show, hanya sedikit acara yang benar-benar menampilkan musik berkualitas.

Sekarang di era digital, tinggal buka smartphone yang bisa ditenteng kemana-mana, ada radio, ada TV, ada channel online, semua bisa dinikmati setiap saat dalam satu media. Istilahnya mau tidak tidur 24 jam menikmati musik juga bisa.

Begitu juga untuk kesempatan. Tentu kita tahu kekuatan youtube, yang sekarang bagi mayoritas penikmat musik membuat batasan label “internasional” semakin tipis (atau bahkan sudah tidak ada?). karena semua karya bisa dilihat seluruh masyarakat di penjuru dunia.

Setiap orang memiliki kesempatan dan peluang menunjukan bakatnya secara terbuka untuk mendulang popularitas.

Tapi apakah seorang penyanyi hanya cukup dengan popularitas? Tentu saja tidak! Mereka tentu ingin diakui dan dihargai karyanya, salah satu bentuk pengakuan itu adalah kesediaan penikmat musik membeli karya terbaik mereka yang asli. Dan inilah tantangan terberat era digital, PEMBAJAKAN dan “mental gratisan”!

Apalagi kalau kenal, biasanya seseorang dengan mudah akan berkata “Mau dong link download gratisnya!!” duh, diingat-ingat ya teman-teman semua, menurut Nadya Fatira sang moderator acara yang juga musisi ini kalimat yang sangat menyakiti musisi L

Sejak bergaul di dunia penulis saya juga serig mendengar keluhan beberaa sahabat dan menurut mereka kalau kenal dan bersahabat baik itu justru harusnya “Bantu teman” dengan membeli karyanya dan mempromosikannya. Tapi ya semua balik lagi ke masing-masing personal.

Menurut mas Iman, seorang musisi itu menghasilkan karya tidak mudah. Istilahnya, dianggap semudah apapun proses dengan fasilitas yang ada di era digital, tetap saja karya kreatif itu mahal. Karena lahir dari pikiran original setiap musisi yang harus tetap kerja keras juga untuk mengahsilkan sebuah karya berkualitas ke masyarakat. Dan biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit untuk ukuran sebuah produksi musik. Tapi pada prinsipnya sebagai label, apalagi label besar seperti Universal Music yang juga membawahi 70% musisi dunia, meski masalah pembajakan cukup pelik tapi menciptakan konten berkualitas dan bervariatif dengan terus mencari bakat baru yang juga untuk regenerasi tetap harus dilakukan. Karena karya musik menurut mas Iman bersifat “abadi”.

Selain itu musisi baru biasanya juga sangat all out, karena masih tinggi semangat-semangatnya. (Faktor usia juga kali ya? :D). Sehingga akan lebih mudah membentuk fans garis keras yang diharapkan menjadi penikmat musik yang “ikhlas” juga dalam mengeluarkan materi membeli karya idolanya.

Karena itu untuk menyiasati dan meminimalkan pembajakan dan memperjuangkan hak royalti, bergabung dengan ASIRI adalah salah satu perjuangan label dan musisi. Memperjuangkan ke pemerintah untuk menegakan Hukum dan membuat peraturan-peraturan dan langkah perlindungan kongkrit untuk Industri kreatif seperti musik ini.

Karena masih banyak hak-hak riyalti musisi yang belum bisa dinikmati oleh musisi langsung karena payung hukum dan peraturan yang belum jelas. Seperti musik untuk mall, tempat hiburan, restoran dan lainnya. Termasuk usaha karaoke yang sekarang sedang marak.

Untuk penjualan Universal Music Indonesia juga menjalin kerjasama dengan iTunes, meski terkadang penggunanya masih terkendala masalah kepemilikan kartu kredit dan lainnya. Karena itu kedepannya label berharap ada terobosan bagaimana penikmat musik tidak terkendala masalah-masalah seperti ini, tapi bisa beli langsung dengan pulsa misalnya. Situs-situs penjualan lagu online lokal lainnya seperti Langit Musik, outlet makanan cepat saji.

Untuk RBT sendiri menurut mas Iman meski ada perkembangan, tapi tidak sesignifikan dulu lagi. Tapi kedepan label seperti Universal Music tetap berharap kerjasama dengan operator dalam berbagai bentuk dan berharap berbagai inovasi terbaru akan hadir.

Untuk menghadapi era pasar bebas sendiri mas Iman tetap yakin akan peran penting label. Meski ada musisi yang memanage karirnya sendiri, tapi label tetap memiliki banyak kelebihan. Label apalagi sebesar Universal akan selalu berinovasi dan strategi untuk terus menghidupkan konten berkualitas. Jangkauan distribusi label juga lebih luas. Hingga ke pelosok yang sulit terjangkau, label sudah memiliki jaringan.

Tapi dari semua perjuangan ini, yang paling penting menurut mas Iman adalah bagaimana usaha Universal selalu berusaha memberi edukasi dan kesadaran pada penikmat musik tentang musik berkualitas. Bahwa menikmati musik dari media asli lebih bagus kualitas musiknya, lebih jernih dan yang pasti merupakan penghargaan untuk musisinya. Tentang perjuangan musisi menghasilkan karya yang membutuhkan waktu, tenaga dan materi yang tidak bisa dibilang sedikit. Karena penikmat musik yang paham dan sadar tentang kualitas,  tentang perjuangan dan karya dengan sendirinya akan rela mengeluarkan uang dari kantongnya.

Memberikan edukasi kesadaran, bahwa menanamkan pikiran “membantu teman” kalau kenal dengan musisinya juga hal terbaik dalam memberikan apresiasi karya seorang sahabat. Bukan justru “Mumpung teman, nyari gratisan”. Seperti saat mas Iman harus mengeluarkan uang utnuk membeli CD terbaru Rini Wulandari. Hal ini juga penting untuk orang-orang yang suka “membandingkan”. Harga satu single musisi lokal dan internasional relatif sama, maka mereka lebih memilih beli yang intrernasional. Karena itu perlu kesadaran “membantu teman”, “mendukung industri kreatif lokal”.

Ya, kembali lagi ke personal masing-masing. Tapi intinya kalau kita mau karya kita dihargai orang lain, kita harus mulai dulu dari diri kita sendiri ya :D

Jadi mari mulai membeli karya asli :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline