[caption id="attachment_358269" align="aligncenter" width="300" caption="Dokter Sigit Priohutomo, MPH, Direktur PPML (dok.pri)"][/caption]
Masih dalam aura perayaan Hari TB Sedunia yang jatuh pada 24 Maret 2015, saatnya mengetahui sekelumit tantangan dalam mencapai target dan cita-cita “Indonesia Bebas TB”. Pada awal bulan, tepatnya 3-5 Maret 2015 Kemenkes mengadakan Workshop Blogger #LawanTB bersama Kemenkes di Bandung.
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih dihantui oleh salah satu penyakit menular ini, yang bahkan saat tidak tertangani dengan benar berakibat pada kematian. Dan Indonesia masuk dalam 4 besar dunia untuk kasus TB. Masih sangat memprihatinkan dan butuh banyak perhatian dari berbagai pihak.
Dari acara ini diharapkan blogger bisa memberikan informasi yang benar dan ikut berperan serta aktif dalam gerakan “Indonesia Bebas TB” melalui peran masing-masing dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Ada tiga tantangan besar dan utama dalam mengangani Penyakit TB seperti yang dipaparkan Dokter Sigit Priohutomo, MPH selaku Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PPML), yaitu :
1. TB MDR (Multi Drug Resistant), yaitu TB yang sudah resistant atau kebal terhadap obat-obat TB reguler (OAT lini pertama dan atau lini ke dua). Penyebabnya antara lain :
- Minum obat tidak teratur, obat TB memang harus teratur dan disiplin setiap hari. Tidak boleh terlewat meski barang sehari. Apalagi sampai berhenti. Yang sering menjadi kendala dan masalah, setelah meminum obat 2-3 minggu, badan akan terasa segar, semua keluhan hilang. Dan saat seperti ini pasien biasanya akan tergoda untuk berhenti, karena terlalu malas untuk terus menanggung ketidak nyamanan dampak dari minum obat TB. Padahal ini akan berdampak sangat buruk pada bakteri dalam tubuh. Bakteri akan semakin kebal saat muncul kembali.
- Sakit TB secara berulang dan memiliki riwayat medis pernah mendapatkan sakit TB sebelumnya.
- Berada di wilayah yang mempunya beban TB-MDR yang tinggi
- Dekat, atau menjalin hubungan erat dengan penderita TB-MDR.
TB-MDR pengobatannya lebih berat dari TB reguler yang hanya butuh waktu 6-9 bulan. TB-MDR memakan waktu lebih lama, 18-24 bulan. Obat yang dibutuhkan juga lebih banyak, total biaya untuk pengobatan lebih besar. Dampak minum obat lebih berat. Mual, ingin muntah, lemas, rambut rontok. Tapi untuk sembuh, semua harus dijalani dengan tertib dan disiplin untuk kesembuhan yang di dunia tingkat kesembuhannya di Indonesia hanya mencapai 53%.
2. TB-HIV, yaitu penderita HIV yang terinveksi TB. HIV, penyakit yang menyrang sistem kekebalan tubuh manusia masih menjadi momok di Indonesia karena masih banyak yang memandang negatif pada penyakit ini. Masih banyak orang terinveksi HIV yang hidup dalam diskriminasi dan keterasingan lingkungan sehingga penderita cenderung menutup diri. Sehingga sangat sulit mendeteksi penderita HIV yang sudah positif terpapar TB.
Pandangan negatif masyarakat terhadap penderita TB negatif karena masih dipengaruhi oleh pemikiran negatif tentang “penyebab HIV”. Pergaulan bebas, narkoba, berganti-ganti pasangan. Padahal sekarang jumlah meningkat berdasarkan data Kemenkes, justru kalangan general woman yaitu golongan yang “tidak menyangka” terktular HIV, contoh Ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya dan golongan MSM (penyuka sesama jenis, terutama laki-laki) yang sangat sulit ditembus tim medis karena menyangkut kehidupan privacy dan budaya malu. Pihak keluarga mayoritas masih malu mengungkap ke muka publik kondisi sebenarnya karena masih menganggap ini aib.
Sedangkan HIV dari pengguna narkoba menurun seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk tidak menggunakan jarum suntik bergantian.
Sebenarnya HIV tidak dengan mudah menular tanpa kontak cairan tubuh seperti darah, cairan semen, cairan vagina. HIV juga tidak mematikan, yang berbahaya adalah penyakit yang timbul karena menurunya imunitas setelah terkena HIV dan ini berakibat pada berkembangnya infeksi TB menjadi TB aktif. Dan ketahuilah, 1 Pasien TB aktif menginfeksi 10-15 orang pertahunnya. Dan 1 dari 10-15 ini menjadi TB aktif selama masa hidupnya.
Dan pada ODHA menjadi penyebab utama kematian. Karena lebih sering kambuh, lebih sering kebal terhadap obat.
HIV membuat TB semakin rumit dan meningkat signifikan.
3. TB Anak. Anak-anak sebenarnya tidak menularkan TB terutama kepada anak lain tapi sebaliknya sangat rentan tertular dari orang dewasa karena sistem imunitas tubuhnya terkadang belum tumbuh sempurna karena masih kecil. TB anak menyebabkan kesakitan hingga kematian tinggi pada anak. Karena TB anak juga beresiko mengarah pada TB milier dan meningitis TB. Karena itu orang dewasa yang mengindap TB benar-benar dilarang melakukan interaksi dengan anak-anak.
Anak dengan TB biasanya memberikan respon yang bagus dalam terapi pengobatan karena tubuhnya cepat melakukan regenerasi. Tapi yang paling penting “anak-anak ini harus di diagnosis dengan benar terlebih dahulu”. Sebagai orang tua, harus kritis dan banyak cari tahu. TB pada anak tidak bisa dideteksi hanya dari dahak dan rontgen. Terutama karena anak sulit mengeluarkan dahak. Jadi kalau anak di duga TB, mintalah pemeriksaan lengkap Rontgen dan mantoux. Pesan penting dari workshop ini “Jangan menerima diagnosis TB anak kalau hanya berdasarkan hasil Rontgen saja”
Dari semua tantangan ini diharapkan masyarakat dapat mencegah sedini mungkin penyebaran dan penularan TB, memahami dengan baik “Apa sih TB?”
- Bahwa TB adalah penyakit yang disebabkan bakteri. Bukan penyakit turunan atau kutukan seperti yang masih banyak dipercayai dan berkembang jadi mitos di tengah masyarakat.
- TB bisa sembuh, asalkan disiplin dan mengikuti semua anjuran dokter. Minum obat dengan teratur, istirahat cukup. Berobat TB gratis di pusat kesehatan pemerintah yang telah ditunjuk. Untuk Klinik Dots bahkan sudah ada di hampir semua Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan.
- Kalau salah satu keluarga ada yang terkena TB, menjadi PMO (Pengawas Minum Obat) yang baik dan benar dengan tetap memperhatikan kesehatan sendiri seperti menggunakan masker selama berinteraksi dengan pasien TB yang kondisinya belum fit terutama saat pasien masih sering batuk. Dan mulai belajar “etika batuk yang benar”. Seperti menutup menggunakan lengan saat batuk. (Ternyata buka dengan telapak tangan lo, yang benar itu menggunakan lengan).
- Jangan kucilkan pasien TB, apalagi pasien TB-HIV hanya karena “ketidaktahuan” kita sehingga menjadikan kita cenderung “sok tahu” dengan mengeluarkan stigma buruk. Stigma buruk inilah yang mengakibatkan sulitnya TB-HIV terdekteksi karena tertutupnya pasien dan keluarga. Bagaimana mereka mau terbuka? Saat ketahuan HIV saja, beberapa anak positif HIV karena tertular dari Ibu langsung dikeluarkan dari sekolah. Sulit mendaftar di tempat lain. Dianggap sebagai “malapetaka” di lingkungannya. Jadi mulai sekarang mari terbuka, bahwa HIV tidak menular hanya sekedar dari jabat tangan, berpelukan dan mengobrol berhadapan. Dengan begini, dengan mudah juga TB-Hiv akan terdekteksi dan terkendali.
- Jangan meludah sembarangan, membuang bekas masker dan tisu pada temapt yang benar.
Utnuk mencegah kita bisa :
Menjalani pola hidup sehat dan bersih. Seperti olahraga teratur, hindari (disarankan berhenti) merokok. Mengkonsumsi makanan bergizi. Sering membersihkan kamar, tempat tidur dan semua perlengkapannya (kasur, bantal, sprei) dengan sering menjemur dan menggantinya. Membuka jendala, agar sirkulasi udara lancar dan sinar matahari masuk sehingga ruangan berganti hawa, untuk mebunuh kuman dan bakteri.
[caption id="attachment_358270" align="aligncenter" width="300" caption="Peran Blogger Dalam Misi "]
[/caption]
Dan mulai sekarang “Mari peduli pada sekitar kita untuk urusan TB”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H