Para elit politik perlu mendamaikan netizen yang masih berseteru, sebab bagaimanapun juga mereka ikut berperan dalam kisruh yang ada. Saat pilpres lalu, media sosial menjadi medan pertempuan terbesar. Kampanye negatif dan hitam bahkan digunakan untuk menjatuhkan lawan.
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah dilantik secara resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden masa bakti 2024 -- 2029 pada 20 Oktober 2024 di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.
Pasangan Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih usai meraih 96.214.691 atau 58,59 persen suara. Jumlah itu telah memenuhi paling tidak 20 persen suara di 38 provinsi di Indonesia. Sedangkan kontestan lain, pasangan Anies Rasyid Baswedan -- Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo -- Mahfud MD memperoleh 40.971.906 dan 27.040.878 suara. KPU mencatat total ada 164.227.475 surat suara sah.
Meski pencoblosan pilpres telah usai jauh-jauh hari, perseteruan antar pendukung calon preiden dan wakil presiden di media sosial masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Masing-masing pendukung masih kerap saling menjelekkan dan menjatuhkan citra idola lawannya. Padahal sudah tidak ada lagi kepentingan elektoral dalam perseteruan yang terjadi. Pesan bernada negatif atau bahkan hoaks yang disebarkan bagaimanapun juga tidak akan menambah atau mengurangi jumlah pemilih.
Celakanya, netizen masih dijejali berbagai pesan bernada permusuhan, baik oleh buzzers (pendengung) atau akun biasa. Alih-alih terjadi rekonsiliasi, masing-masing pendukung justru melabeli negatif satu sama lain. Pendukung Anies -- Muhaimin dicap sebagai "Anak Abah", yang tidak terima dengan hasil pilpres. Mereka yang pernah memilih Prabowo -- Gibran dicap hanya memiliki "IQ 58". Angka 58 mengacu persentase kemenangan Prabowo -- Gibran pada pilpres yang mencapai 58.6%. Pendukung Ganjar -- Mahfud kerap disebut sebagai penyuka 'chudai'. Istilah chudai merujuk pada konten-konten bersifat vulgar di media sosial X (dahulu bernama Twitter). Sebelumnya, Ganjar Pranowo pernah mengungkapkan suka menonton film dewasa di sebuah siniar pada 2019.
Perilaku bullying atau perundungan itu membuat netizen sulit move on. Berbeda dengan perundungan di dunia nyata yang saling berhadapan atau face to face, perundungan lewat media sosial atau cyberbullying jauh lebih berdampak negatif karena tidak terbatas ruang dan waktu. Tindakan atau pesan bernada perundungan bisa dilihat 24 jam, setiap korban perundungan bermedia sosial, serta bisa dilakukan oleh pelaku perundungan kapan dan di mana pun.
Paparan cyberbullying dapat semakin intens mengingat konsumsi media sosial di Indonesia cukup tinggi. Orang Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 11 menit untuk berselancar di media sosial (We Are Social, 2024). Cyberbullying adalah perilaku membahayakan atau merugikan yang disengaja dan berulang-ulang yang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Hinduja, S & Patchin, J, 2023).
Perundungan itu membuat luka batin, yang didapat dari banyaknya hate speech atau ujaran kebencian selama pilpres lalu, makin tidak tersembuhkan. Menurut hasil riset Monash Data dan Democracy Research Hub (MDDRH) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 120.000 twit atau konten mengandung ujaran kebencian seputar pemilu di X. Di Facebook, konten sejenis mencapai 57.000, sedangkan di Instagram ditemukan ada 4.472 konten.
Associate Professor Program Manajemen Kebijakan Publik Monash University Indonesia, Ika Idris menyebut ujaran kebencian itu beramplifikasi besar di media sosial. Konten di X mencapai 51 miliar impression dengan jumlah likes 18 juta, replies 1 juta, dan retweets sebanyak 6 juta. Impression atau impresi adalah jumlah berapa kali sebuah konten dilihat pengguna X. Di Instagram, engagements yang mengandung ujaran kebencian juga tidak kalah tinggi. 4.472 konten yang berhasil dipantau dikomentari 9 juta kali dan disukai sebanyak 181 juta (Kompas.com, 2024). Engagement diartikan sebagai jumlah interaksi di sebuah unggahan. Interaksi berupa likes, komentar, dan share.