Pemilu Serentak tahun 2019 merupakan amanah keputusan Mahkamah Konstitusi, No. 14/PUU-IX/2013. Pada dasarnya, putusan Mahkamah itu menyatakan bahwa Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) harus dilaksanakan secara serentak. Dalam Putusan tersebut, Mahkamah membatalkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur pelaksanaan pemilu presiden tiga bulan setelah pelaksanaan pemilu legislatif sehingga bersifat tak serentak.
Dilatarbelakangi putusan MK itulah maka terbentuk UU. No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang di antaranya mengatur pelaksanaan pemilihan DPR, DPRD, DPD dan peesiden secara bersamaan. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan Pemilu Serentak.
Pemilihan umum, baik itu pemilihan DPR, DPRD, DPD, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan pemilihan kepala desa dengan berbagai sebutan lainnya, merupakan mekanisme politik hasil konsensus demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Sebagai proses politik yang mengikut sertakan masyarakat, maka pemilu membuka dua kemungkinan: menuju perubahan dan perbaikan atau kemunduran dan kebangkrutan.
Untuk yang pertama pemilu menghasilkan pemimpin yang punya kapasitas dan katakter yang baik membawa perbaikan dan pembaharuan; sedangkan untuk yang terakhir pemilu menghasilkan pemimpin yang korup, nir-visi perubahan, dan mengedepankan kepentingan pribadi, golongan dan kelompoknya.
Di negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar dan mekanisme untuk mendapatkan pemimpin politik. Di mana salah satu aspek penting dari rangkain proses pemilu adalah adanya pengawasan pelaksaan pemilu. UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tidak lembaga penyelenggara Pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dari tiga lembaga tersebut, Bawaslu memiliki fungsi pengawasan pemilu. Fungsi pengawasan ini menjadi sangat penting untuk menjaga agar proses penyelenggaraan pemilu tetap sesuai dengan asas dan prinsip penyelenggaraan Pemilu.
Kualitas pemilu salah satunya ditentukan oleh konsistensi Badan Pengawas Pemilu dalam menjalankan tugas peran dan fungsinya. Belajar dari banyak kasus perselisihan pemilu, ia disebabkan oleh tidak profesionalnya cara kerja lembaga pengawas pemilu dalam menegakkan peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan pemilu.
Terdapat sejumlah faktor penyebab, yaitu, pertama; terbatasnya kewenangan yang dimiliki lembaga pengawas pemilu untuk memberikan sanksi terhadap para peserta pemilu. Sebelum lahir UU No. 7 tahun 2017 lembaga pengawas pemilu kewenangannya hanya sebatas menerbitkan rekomendasi atas unsur pelanggaran pemilu. Saat ini, Bawaslu memiliki kewenangan melakukan tindakan hukum yang bersifat administratif atas pelanggaran tertentu. Sebagian pihak berpendapat, idealnya lembaga pengawas pemilu diberi kewenangan penindakan, bahkan kewenangan bersifat yudisial.
Kedua, faktor lain yang memperlemah cara kerja lembaga pengawas pemilu, yaitu, terbatas personil dan sumber pembiayaan. Faktor ini seringkali menjadi kendala lapangan bagi lembaga ini untuk memastikan bahwa pemilu yang dilaksanakan punya kualitas dan sesuai aturan main dan aturan hukum.
Lembaga pengawas pemilu selain berfungsi melakukan pengawasan tehadap seluru proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu, juga memiliki peran strategis dalam konteks mengedukasi, memberdayakan masyarakat (pendidikan politik), dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Peran tersebut, sebagaimana di mandatkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menyebutkan bahwa bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional.
Hal yang sering diabaikan selama proses pemilu adalah soal penyebarluasan informasi publik tentang pemilu, baik yang berkaitan dengan seluruh regulasi dan kebijakanya, maupun yang berkaitan dengan urusan-urusan teknis pelaksanaan pemilu. Sebagai contoh terkait soal revisi UU Penyelenggara Pemilu, dimana tidak semua (mayoritas) masyarakat mengetahui hal-hal substansi dalam pembahasan RUU tersebut. Demikian halnya dalam praktek pelaksanaan pemilu, dimana sebagian besar masyarakat mendapatkan informasi yang terbatas terkait pemilu.