Lihat ke Halaman Asli

Kerusuhan, Siapa Untung Siapa Buntung (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Suman HS & Arif R. H

Beberapa hari belakangan ini beredar pesan pendek (sms) dari orang yang tidak bertaanggung jawab yang menyebutkan, akan terjadi kerusuhan Kupang pada tanggal 24 sampai 27 Februari 2011 untuk membalas peristiwa Tumenggung. Saya antara percaya dan tidak jika kasus Tumenggung itu dibawa ke Kota Kupang. Mana mungkin saudara-saudara yang Kristen, baik Katolik maupun Protestan tega melakukan itu kepada saudara-saudaranya yang Muslim sebab nilai kekerabatan masyarakat di Bumi Flobamora sangat tinggi.

Ancaman itu juga bisa terjadi kalau sesama orang NTT tidak lagi saling menghargai, rasa malu antar sesama sudah terkikis oleh arus jaman dan perkembangan globalisasi. Tetapi mungkin juga pelaku sms itu bukan orang NTT yang mau mengusik ketenangan masyarakat NTT. Jika orang NTT terpancing maka pilot project yang direncanakan itu akan berhasil.

Namun jauh dari semua itu ada satu pertanyaan yang mendalam, jika kasus kerusuhan itu terjadi, siapa yang mendapat keuntungan dan siapa yang buntung? Jawabannya singkat. Baik pelaku kerusuhan maupun korban kerusuhan sama-sama buntung dan tidak ada yang untung. Sesaat pelaku kerusuhan akan terpuaskan dengan pelampiasan dendamnya tapi dalam hati nuraninya, dia akan menyesal karena telah merusak orang lain.

Dari segi ekonomi masyarakat atau bangsa yang mengalami kerusuhan akan mengalami stagnan pasar yang luar biasa. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, jika uang tersebut tidak berputar atau darah tidak mengalir maka secara biologis manusia itu akan mati. Uang adalah darah sehingga jika uang tidak mengalir berarti kehidupan sosial akan mati. Jantung sosial yang memompa perputaran uang adalah pasar kehidupan, pasar adalah jantung yang memompa uang dan membaginya pada seluruh kehidupan masyarakat.

Mari Kita belajar dari kerusuhan 30 November 1998, dimana terjadi pengrusakan sejumlah asset masyarakat muslim. Saat itu seluruh masyarakat Kota Kupang mengalami kesulitan dalam berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam beberapa saat. Contoh yang paling sederhana, masyarakat nelayan Oesapa yang kebetulan Muslim, banyak yang pulang kembali ke Sulawesi. Akibatnya, saat itu harga ikan di Kota Kupang melonjak tajam dan masyarakat juga tidak memiliki daya beli. Hal yang sama terjadi pula pada pedagang sayur mayor yang juga banyak kehilangan langganan terutama untuk langganannya di warung-warung. Karena masyarakat pendatang yang nota bene sebagai pemilik warung atau restoran pulang kampung karena ketakutan. Hari-hari berlalu Kota Kupang menjadi kota mati semua orang hidup dalam ketakutan. Para jurnalis mungkin banyak mendapatkan berita tapi juga sulit memasarkan korannya.

Karena itu masa lalu yang kelam, tidak boleh terulang kembali, jangan menodai persaudaraan kita, yang sudah turun temurun dibangun dan dibina, jangan mudah terprovokasi oleh hal-hal yang merugikan persaudaraan kita, Bumi Flobamora masih butuh sentuhan dan pembangunan di mana-mana, mari kita maju terus sambil bergandengan tangan untuk membangun Bumi Flobamora tercinta ini, karena NTT merupakan salah satu provinsi yang masih tertinggal. Bali dan NTB yang pernah bersatu dengan NTT, sudah sangat maju. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline