Lihat ke Halaman Asli

Negeri yang belum Ramah Perempuan

Diperbarui: 19 Agustus 2017   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia belum menjadi negeri yang ramah terhadap perempuan. Berbagai tindak kekerasan dari tahun ke tahun menujukkan perempuan menjadi korban yang dominan. Lembar Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis tanggal 8 Maret tahun 2017 masih memberikan data yang sangat merugikan perempuan. Catatan Tahunan yang dibuat setiap tanggal 8 Maret sebagai peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 259.150 kasus yang ditangani dan dilaporkan selama tahun 2016. Yaitu, 245.548 kasus atau perkara yang bersumber dari penanganan oleh 359 Pengadilan Agama (PA) dan 233 kasus yang ditangan oleh lembaga mitra pengada layanan Komnas Perempuan yang tersebar di 34 Propinsi di Indonesia.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan menujukkan kekerasan pada perempuan terjadi dalam berbagai ranah. Kasus yang paling tinggi terjadi pada ranah personal. Data PA menunjukkan 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berakhir pada perceraian. Data yang masuk pada lembaga layanan mitra Komnas Perempuan 13.602 kasus. 

Kekerasan di rumah tangga yang berhubungan dengan relasi personal, kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi pemuncak kekerasan yaitu 5.784 kasus (56%), kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%) , kekerasan terhadap anak 1.799 kasus (17%), dan sisanya adalah kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami, matan pacar, dan kekerasan pada pekerja rumah tangga.

Dilihat dari jenisnya para perempuan di Indonesia mengalami multi level kekerasan. Dari yang ringan sampai yang berat. Hal tersebut tercermin dalam berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan,  di antaranya kekerasan yang bersifat fisik menempati angka tertinggi, yaitu 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus), dan kekerasan ekonomi sekitar 10% (978 kasus).  

Sementara untuk kekerasan seksual pada ranah rumah tangga atau personal, kasus pemerkosaan pada perempuan menjadi kasus yang paling tinggi yaitu 1.389 kasus, dan pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Pada tahun 2017 juga menampilkan data bahwa pelaku kekerasan seksual pada ranah personal adalah pacar dari korban yaitu sebanyak 2.017.

Ganjalan diskursif

Seringkali para perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga justru dianggap sebagai biang masalah. Misalnya seorang perempuan yang berulang kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga secara fisik dan psikologis dengan ditinggal oleh sang suami dengan nikah siri dengan perempuan lain. Para warga di sekitarnya menganggap bahwa pantas suaminya nikah siri dengan perempuan lain, sebab perempuan tersebut dianggap tidak mampu melayani suaminya dengan baik. 

Tidak bisa memberikan servis yang dapat memuaskan suaminya. Pada kasus-kasus lain tentang kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan seperti pemerkosaan, diskursus dominan masih menempatkan tubuh perempuan sebagai penyebabnya. Perempuan diperkosa dianggap salahnya peremuan yang mancing-mancing hawa nafsu laki-laki dengan pakaian yang seksi, dandanan yang menor, dan ungkapan-ungkapan yang seksis yang lainnya.

Artinya dalam diskursus sosial narasi dominan atas perempuan masih ditempatkan sebagai episentrum anarki sosial. Perempuan masih dikaitkan dengan sejumlah masalah sosial. Ungkapan yang sangat terkenal yang sering dikutif oleh banyak orang "harta, tahta, dan wanita". Bencana sosial dianggap penyebabnya adalah karena harta. Banyak sekali kasus dan bencana karena rakus dan tamak pada harta. Demikian juga pertumpahan darah, kesengsaraan, dan bencana karena berebut tahta. Dan yang ketiga adalah wanita. Artinya perempuan dianggap sejajar dengan penyebab bencana sosial yang lain, bukan laki-laki. 

Oleh karena itu sering kali tokoh-tokoh yang memiliki kuasa ekonomi, kuasa politik, atau jabatan yang lain tiba-tiba karirnya hancur karena selingkuh dianggap penyebabnya adalah perempuan. Padahal terjadinya perselingkungan karena para laki-laki yang memiliki kuasa politik, ekonomi, dan kuasa yang lainnya yang menjadikan mereka melakukan dominasi atas perempuan. Implikasikasinya dominasi atas yang lemah akan menyebabkan berbagai tindakan opresi atas perempuan.

Diskursus agama yang mengatur relasi laki-laki dan perempuan juga kecenderungannya masih memberikan peluang terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga. Konsep kesetaraan di dalam rumah tangga belum sepenuhnya mendapat pemahaman yang sama di antara para keluarga umat beragama.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline