Lihat ke Halaman Asli

SN

Bismillah

Soekarno | Bukan Sinopsis

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.filmsukarno.com

Bismillahirrahmanirrahim [caption id="attachment_3015" align="alignleft" width="104" caption="www.filmsukarno.com"][/caption] Rabu sore (25/12) saya dan istri berangkat dari rumah menuju  Galaxy Theatre di Jalan Kepatihan, Bandung. Ada 3 pilihan film yang belum kami eksekusi, bahkan ketika sampai di depan loket tiket, tepat pukul 17.25 WIB. Terpampang waktu pemutaran film yang berlangsung pada hari tersebut: SOEKARNO - 18.30 / 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA - 19.15 / LASKAR PELANGI EDENSOR - 19.30. Mengingat waktu, akhirnya uang senilai Rp40,000 (empat puluh ribu rupiah) kami tukarkan dengan dua buah tiket film Soekarno. Dengan durasi 2 jam 17 menit jelas tak memadai untuk menggambarkan sosok Bung Karno secara utuh. Barangkali akan ada film seri lanjutan pasca kemerdekaan. Namun demikian, bolehlah sedikit berbagi dari hasil ‘bacaan’ saya setelah menyaksikan film tersebut. Namanya juga ‘bacaan’, boleh jadi keliru. Mungkin juga berbeda dengan hasil ‘bacaan’ Anda yang menonton film yang sama. Jadi mohon dimaafkan yah :D. FASE KECIL – REMAJA Sejak kecil Kusno sering sakit-sakitan. Meskipun bapaknya sudah ‘tirakat’ tidur di bawah tempat tidur berpekan-pekan (agar penyakit anaknya pindah ke tubuhnya), namun hanya menghasilkan kesiaan. Berdasarkan tradisi Jawa, akhirnya diadakanlah suatu acara selamatan/syukuran penggantian nama. Ada beberapa usul nama yang diutarakan kerabat dan para tetangga yang hadir, diantaranya Werkudoro. Tapi bapaknya lebih cenderung mengganti nama Kusno menjadi Karno, lengkapnya menjadi Soekarno. Meskipun sudah mengganti nama, beliau juga kadang masih sakit. Namanya manusia, diantara ujiannya adalah menderita sakit. Ritual penggantian nama barangkali lebih cenderung kepada sugesti saja. Sifat womanizer (pecinta wanita) dalam diri Soekarno kecil memang sudah nampak. Hal ini ditampilkan dalam satu adegan dimana ia bolos belajar agama dari asuhan pemimpin Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto guna ‘membina asmara muda’ dengan seorang anak Londo yang jelita, Mien. Bahkan demi memperjuangkan hasrat cintanya kepada Mien, ia mulai mengubah citra dirinya dengan memakai pakaian ala non pribumi / Belanda. Soekarno kecil menunjukkan nyalinya dengan manyambangi rumah Mien untuk menyampaikan ‘keseriusan cintanya’. Pahit baginya, posisi beliau sebagai pribumi membuatnya terusir dari rumah Mien, bahkan dari hatinya. Oleh karena babehnya Mien tidak mengizinkan cinta diantara mereka berdua tumbuh semakin berkembang. Sejak saat itu, ia tanamkan dalam-dalam  dipikirannya bahwa Belanda tidak boleh menjadi tuan di bumi Indonesia. Rakyat Indonesia harus menjadi tuan di negerinya sendiri. Diasuh dalam bimbingan HOS Tjokroaminoto, mental seorang pemimpinnya makin terasah. Ia sudah mulai sering latihan berpidato, meniru gurunya tersebut ketika mengajar, bahkan saat berpidato dihadapan anggota Sarekat Islam. Pidato yang membakar semangat juang rakyat untuk bebas dari penjajahan. FASE DEWASA Setidaknya dalam kurun waktu sebelum kemerdekaan RI 17/08/1945, Soekarno sudah menikah tiga kali. Yang saya tahu dari film tersebut, istri kedua Soekarno adalah Garnasih, yang kemudian diceraikannya untuk kemudian menikah lagi dengan istri ketiga, Fatmawati. Mengibaratkan kecantikan Garnasih adalah seperti pujian para pemuda masa itu, “Mendapatkan senyum dari Garnasih ibarat mendapatkan uang seringgit.” Kata ‘seringgit’ – pecahan uang nilainya sebesar dua rupiah setengah sen – kemudian menjadi kata ‘Inggit’ dan melekat pada nama Garnasih. Jadilah nama lengkapnya Inggit Garnasih. Melalui pendekatan istri kedua Soekarno, Inggit Garnasih, wawasan saya makin lengkap tentang nama jalan di Bandung, diantaranya Jalan Lengkong Besar; Jalan Ibu Inggit; Jalan Banceuy; Penjara Sukamiskin; dlsb. Ibu Inggit memiliki pengaruh yang besar dalam perjalanan karir politik Bung Karno. Beliau sangat memahami perangai Bung Karno, termasuk sifat playboynya. Ia tetap menunjukkan kesetiannya mendampingi dan memberi dukungan Soekarno ketika dipenjara; diasingkan ke pulau luar Jawa, diantaranya  Ende – Flores dan Bengkulu. Di Kota Bengkulu Soekarno menjadi salah satu pengajar di sekolah Muhammadiyah. Selang beberapa waktu, Soekarno menaruh perhatian khusus kepada salah satu muridnya, Fatmawati  yang dinilainya berpikiran cemerlang. Beliau mulai menabur bibit cinta kepada putri Hasan Din tersebut, yang merupakan salah seorang pengurus  Muhammadiyah. Kelak, cinta antara Soekarno dan Fatmawati menjadi batu sandungan bagi rumah tangga Inggit Garnasih, meskipun mereka sudah pindah ke Jakarta saat masa pendudukan Jepang. Pilihan yang tidak mudah bagi beliau untuk dimadu. Pada akhirnya Soekarno dan Garnasih sepakat menandatangani surat cerai, setelah diskusi panjang diantara mereka berdua tidak menemui titik yang sama. Dorongan orang tua Soekarno untuk memiliki cucu memberi pengaruh dalam surat cerai tersebut, selain beliau juga ingin memiliki keturunan. OPORTUNIS Hidup dalam penjara dan pengasingan bertahun-tahun membuat Soekarno nampak menyerah untuk berhadapan langsung dengan penjajah. Ia berpikir logis dan manusiawi untuk memilih jalan tengah. Barangkali pikirnya cukup Belanda saja yang memperlakukannya tidak manusiawi. Maka ketika Jepang menguasai Indonesia setelah mengalahkan Belanda, Soekarno lebih cenderung bersifat kooperatif dan akomodatif. Sebagai imbalan, beliau dan keluarga dibebaskan dari pengasingan. Hidup nyaman bersama keluarga dalam rumah yang luas di Jakarta, difasilitasi kendaraan roda empat untuk keperluannya sehari-hari. Pilihan Soekarno bukan tanpa kritik dan halangan. Ia banyak dicap kalangan dan koleganya sendiri, Sutan Sjahrir sebagai pengecut; pengkhianat; pembunuh; dlsb. Sebuah tuduhan yang wajar manakala rakyat menyaksikan ketimpangan sosial politik seperti: perkosaan gadis pribumi di barak militer Jepang; penyiksaan kerja ala Romusha; perampasan pangan; dlsb sementara Soekarno (dan Mohammad Hatta) ngopi-ngopi dengan petinggi Jepang. Dan semua sketsa tersebut seolah digambarkan ‘atas seizin / sepengetahuan Soekarno’. Apakah Soekarno bersikap oportunis? Wallahu a'lam. Ada petikan kata yang beliau ucapkan barangkali menggambarkan maksudnya, "Pemimpin hadir disaat-saat yang tidak terduga". Kalau sudah demikian maka "Biarlah sejarah yang membersihkan namanya", mengutip dialog Soekarno dan Hatta menjelang berakhirnya film tersebut. KONKLUSI "... Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya...". Soekarno, seorang pemimpin besar pada masanya. Kharismanya masih menjadi idaman banyak kalangan hingga saat ini. Terbayang dalam pikiran saya mengapa beliau demikian disegani. Posisi Indonesia memiliki peran yang penting dalam dunia internasional ketika itu. Keteguhan prinsipnya tergambarkan dalam bait kata Fatmawati: “Bebek jalan berbarengan. Elang berjalan / terbang sendiri”. Dibalik kisah heroik beliau, film ini juga memberi gambaran sisi manusianya, seperti yang sedikit diulas sebelumnya. Akan tergambar lebih benderang sosok Bung Karno (jika ada lanjutan filmnya) dalam berhadapan dengan lawan-lawan politiknya. Ini yang patut kita pahami dan terima dari ketidaksempurnaan seorang Soekarno. Oya, apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka? Pertanyaan klasik ini akan selalu muncul, jika sistem hukum yang dianut adalah warisan kolonial Belanda. Jika industri otomotif Jepang atau negara lainnya masih merajai Indonesia. Anda pernah lihat stiker bendera Jepang menempel di plat nomor kendaraan? Ah, rasanya mereka ingin meledek kalau kita seolah lupa bahwa logo kendaraan itu milik Jepang. Bagaimana dengan kekayaan alam Indonesia? Apakah sudah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat? Kata Dr. Kurtubi, jika minyak dan gas di bumi Indonesia pengelolaannya tepat, maka sejahteralah rakyatnya. Cukup dari kekayaan minyak dan gas, belum lagi hasil laut, hasil hutan, dan hasil bumi lainnya. Setelah tiba di rumah pukul 22.15 WIB usai menyaksikan film Soekarno, saya iseng bertanya ke istri. “Umm, kira-kira profil mana yang cocok dengan karakter ayah di film tersebut?”. Setelah berpikir sejenak, beliau menjawab mantap, “Sjahrir kayaknya, Yah”. Waduh, kudu dapet gelar doktor; banyak baca buku dan latihan melancarkan ngoceh bahasa asing neh. Tak banyak yang mengenal sosok yang beraliran sosialis ini, termasuk saya. Padahal sejujurnya, dalam hati saya ingin disamakan dengan HOS Tjokroaminoto :D. _______ Katakanlah: `Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. 3:26) [Sulung Nofrianto] http://www.aisyahnurwahidah.net/soekarno-bukan-sinopsis.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline