Lihat ke Halaman Asli

Kudekap dan Menangis Dipangkuanmu

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kering air mata ini telah menangis seharian. Sore hari di pinggir trotoar jalan Sriwijaya, aku duduk ditemani sebatang rokok untuk ku hisap menghilangkan rasa kelaparan. Saat aku hisap rokok kretek yang aku bawa disaku kanan jaket hitam dari rumah kakakku, nampaknya tak membuat kenikmatan yang aku bayangkan sebelumnya, hanya saja menambah sakit yang aku rasakan di hidung. Darah dari hidungku tak bisa aku tahan, hanya sehelai bajuku ini yang dapat kupakai sebagai penahan darah yang setiap kali keluar. Seminggu, aku telah di usir dari rumah, ketika datang dari perantauan di kota yang penuh keharmonisan dan kekerabatan, disanalah aku belajar di universitas kehidupan yang telah mengajarik apa makna dan arti hidup.
“Heh!!, masih berani kau menginjakkan kakimu dirumahku, Kukira, kamu telah lupa dengan orangtua yang telah membesarkanmu, dasar anak durhaka, aku tak sudi punya anak sepertimu lagi?”

Rasa kuat ingin bersujud kepada orang tuaku seketika itu telah hilang, bagaikan ayam yang bertemu dengan musang, tanpa basa-basi bapak telah mengusirku dengan melemparkan asbak yang mengenai hidungku. Aku pun tak sempat lagi menghindar dari hantaman asbak itu, dan aku pergi sebelum bertemu ibuku yang sedang sakit dikamarnya yang telah menantiku.
Yang kurasakan saat ini, apakah Tuhan telah membenciku? Sehingga memberiku ganjaran seperti ini setelah beberapa tahun aku telah melakukan kesalahan? Apakah ini pembalasan yang pantas untuk aku jalani. Tak dapat ku bayangkan nanti jika aku mati di sini, di pinggir jalan apakah orang tuaku masih menganggapku sebagai anaknya? Sementara aku telah mengecewakan kedua orang tuaku saat itu. Ya Tuhan, kemana lagi aku harus mencari penopang hidup ini, aku pulang hanya ingin bersujud mendapakatkan ampunan maaf di hadapan kedua orang tuaku saat itu, tak lebih. Untuk mendapatkan warisan saja aku tidak memikirkannya. Kenapa aku harus di usir kedua kalinya seperti ini.
Lampu trotoar di depan toko-toko yang nampak gagah memancarkan sinarnya telah menemaniku malam ini, aku merebahkan tubuhku didepan toko beralaskan kardus minuman yang kudapat dari tempat sampah, membawakan lamunanku ke masa lalu. Ketika itu aku masih ingat pesan apa saja dari ibuku sebelum aku menginjakkan kaki menuntut ilmu di kota yang menurut banyak orang tempatnya orang beradu mencari ilmu. Tetapi kepergianku itu tidak semata-mata k¬¬einginanku sendiri, hanyalah keinginan bapakku agar aku menjadi orang yang berpangkat, dan mudah duduk dikursi yang empuk dan mempunyai strata sosial yang tinggi, karena pada waktu itu bapak telah memesankan kursi untukku. Sebenarnya bukan itu yang aku inginkan, cukuplah aku sebagai sopir truk angkutan yang pernah aku lakukan semenjak masih sekolah di Aliyah. Dengan hasil keringatku sendiri, bermodalkan apa yang telah diajarkan dulu, aku telah bangga bisa mendapatkan uang dengan jerit payahku, walaupun gaji seorang sopir truk tak sebanding dengan apa yang ada dikursi jabatan yang empuk.
Empat tahun lebih aku telah meninggalkan kampung halaman, semua terasa begitu cepat, seperti baru saja aku mengalaminya. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku telah melalaikan mandat-mandat bapakku kala itu, aku terbawa angin hitam dan putih yang membawa kehidupanku terasa lebih bebas, tak ada pengekangan dari bapakku seperti waktu kecilku dulu, hidupku mulai tak terarah dengan dunia kesenangan yang semu, disitulah aku belajar hidup di universitas kehidupan penuh manis pahit getirnya hidup. Aku lepas dari tanggung jawabku sebagai orang yang diharapkan oleh orang tua, terutama bapakku. Lamunanku membawa aku terlelap tidur, hanyut kedalam mimpi-mimpiku.
Ibu, ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu sampai aku tertidur seperti masa kecil dulu. Ibu, maafkan anakmu ini yang telah durhaka kepadamu. Karena anakmu ini ibu sakit..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline