Lihat ke Halaman Asli

Kloning pada manusia, dalam Agama apakah boleh dilakukan?

Diperbarui: 22 November 2023   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penulis: 

  • Sulton Nawawi, M.Pd. (Mahasiswa Doktor Pendidikan MIPA Universitas Jambi-Dosen Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Palembang).
  • Prof. Dr. rer.nat. Rayandra Ansyar, M.Si. (Dosen Filsafat Ilmu Lanjut, Doktor Pendidikan MIPA Universitas Jambi).

Biologi adalah ilmu yang mengkaji dan mempelajari tentang makhluk hidup. Salah satu cabang ilmu biologi yaitu Bioteknologi. Bioteknologi mempelajari pemanfaatan makhluk hidup, seperti bakteri, virus, dan fungi untuk menghasilkan barang atau jasa yang bisa digunakan oleh manusia. Dalam sejarahnya terdapat bioteknologi konvensional dan bioteknologi modern. Salah satu aplikasi penerapan bioteknologi modern yaitu “Kloning”. 

Secara terminologi Clone berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti batang atau cabang, istilah ini mengacu ke proses dimana tanaman yang baru dihasilkan dari cabang atau ranting. Dalam ilmu perkebunan (horticulture), istilah clon dipakai sampai abad ke-20, yang kemudian berkembang menjadi clone, yang masih digunakan sampai dewasa ini. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, clone adalah satu kelompok tumbuhan atau organisme yang dihasilkan secara aseksual dari satu pendahulu (ancestor). Encyclopedia Britannica menyebutkan clone (whole organism cloning) sebagai organisme individual yang tumbuh dari satu sel tubuh tunggal orang tuanya yang secara genetik identik. Secara biolomolekul kloning adalah kreasi suatu organisme yang merupakan salinan genetik dari organisme pendahulu. Clone adalah salinan genetik yang identik dari potongan DNA, sel, atau organisme keseluruhan (Wangko & Kristanto, 2010).

Secara sederhana dapat disebutkan bahwa bayi “clone” dibuat dengan mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya kemudian digabungkan dengan sel donor yang merupakan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasil gabungan tersebut kemudian ditanamkan kedalam rahim dan dibiarkan berkembang dalam rahim sampai lahir. Secara teoritis, prosedur dan mekanisme kloning terhadap makhluk hidup sedikitnya harus melalui empat tahap yang diurutkan secara sistematis. Keempat tahap itu adalah: 1) Isolasi fragmen DNA, 2) penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor, 3) transformasi, 4) seleksi hasil cloning (Aman, 2007).

Metode kloning berbeda dengan metode pembuahan biasa, karena sel telur tidak lagi memerlukan sel sperma untuk pembuahannya. Secara sederhana dapat disebut bahwa bayi klon dibuat dengan mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya kemudian digabungkan dengan sel donor yang merupakan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasil gabungan tersebut kemudian ditanamkan ke dalam rahim dan dibiarkan berkembang dalam rahim sampai lahir. Secara teoritis teknik cloning kelahiran seorang bayi tidak lagi memerlukan sperma ayah. Bahkan seorang perempuan dapat memiliki anak tanpa melalui ikatan perkawinan. Demikian juga dengan seorang laki-laki apabila ingin punya anak tidak perlu beristri. Cukup hanya dengan memesan sel telur pada suatu firma, memberikan selnya dari salah satu organ tubuhnya dan kemudian menitip calon anaknya pada rahim seorang wanita yang bisa jadi telah disediakan oleh firmanya tersebut (Daulay & Siregar, 2005).

Apakah Penerapan Teknologi Kloning pada Manusia diperbolehkan?

Hingga saat ini isu kloning masih mempunyai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut muncul karena masih banyak perdebatan di kalangan ilmuwan, umat beragama, dan ahli etika. 

Teknologi kloning menunjukkan kurangnya penghormatan manusia terhadap mahkluk hidup. Manusia diciptakan dari Tuhan dan kloning hendak mengotori hal tersebut. Tanggapan senada juga diungkapkan dari beberapa muslim di Amerika, mereka mengatakan bahwa teknologi kloning hanya akan menurunkan institusi perkawinan. Sedangkan pusat fiqih Islam mengadakan sidang di Saudi Arabia, menetapkan keharaman kloning reproduksi manusia dengan cara apapun. Pusat ini juga mengaharamkan semua hal yang melibatkan pihak ketiga dalam hubungan perkawinan, baik keterlibatan rahim saja atau keterlibatan sperma, ovum, atau sel pada bagian tubuh untuk digunakan dalam proses kloning. Namun demikian, tidak semua tokoh agama dan etika mengaharamkan atau melarang kloning. Di antara mereka ada yang bersifat moderat, dengan cara mencermati lebih dulu jenis dan proses kerja yang ada pada kloning. Mereka yang pro berpendapat lebih pada tujuan dari pada kloning yang dibolehkan seperti pencegahan penyakit dan mempertahankan kesehatan. Selain alasan kesehatan alasan lainnya adalah kloning bukan berarti manusia ikut campur terhadap ciptaan Tuhan. Ilmuan tetap manusia dan ciptaan Tuhan (Fadri, 2020).

Pada tanggal 28 Juni–3 Juli 1997, ulama sedunia bertemu di Makkah al-Mukarramah dalam kegiatan seminar bertemakan “Islamic Fiqh Academy” dengan topik utama meninjau kedudukan dan hukum kloning dalam syariat Islam. Seminar tersebut dihadiri oleh 125 orang meliputi para fuqaha dan pakar bioetik dari penjuru dunia. Secara aklamasi diputuskan bahwa kloning terhadap hewan dan tumbuhan diperbolehkan, sedangkan kloning terhadap manusia diharamkan. Selanjutnya larangan tentang kloning manusia dikeluarkan oleh jawatan kuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Malaysia pada 11 Maret 2002 melalui keputusan mudzakarah yang ke 51 yang menetapkan bahwa: (1) Untuk tujuan apapun kloning manusia adalah haram, karena bertentangan dengan fitrah kejadian manusia, sebagaimana yang ditentukan oleh Allah SWT, dan (2) Penggunaan stem cells dengan tujuan medis diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ (Suryanti, 2019).

Menurut Daulay & Siregar (2005) Institusi perkawinan di samping berfungsi sebagai kontrak sosial (‘aqd al-tamlik) yang melahirkan kesadaran dan tanggung jawab sosial antara kedua belah pihak, juga berfungsi sebagai ibadah (‘aqd al-‘ibadah), karena mendeklarasikan sesuatu yang tadinya haram menjadi boleh dilakukan antara kedua belah pihak sebagai suami-istri.  Dengan penerapan kloning, kemapanan dan keluhuran cita-cita sebuah perkawinan dalam Islam akan terusik. Bahkan boleh jadi, di masa yang akan datang manusia tidak membutuhkan perkawinan untuk mendapatkan keturunan. Seks hanya diperlukan untuk melampiaskan nafsu birahi terhadap lawan jenis tanpa mempertimbangkan akibat dan tanggung jawab dari hubungan seksualitas tersebut.

Selain dari aspek fiqh, kloning juga menimbulkan masalah yang cukup signifikan dalam tataran teologis. Dalam kaca mata teologi, proses penciptaan manusia adalah merupakan hak preogratif Allah SWT. Intervensi manusia ke wilayah ini tentu saja menimbulkan perdebatan dan wacana yang perlu dikaji lebih dalam. Menerapkan kloning terhadap manusia sama artinya mempersilahkan manusia memasuki wilayah kekuasaan Allah SWT.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline