Keruntuhan Kekaisaran Jepang pada Perang Pasifik telah berhasil membuka peluang untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Sudah ratusan tahun lamanya bangsa kita digenggam oleh tangan besi bangsa asing. Maka sudah sepatutnya kita putuskan rantai besi itu.
Sebagai negara yang baru saja mendeklarasikan kedaulatannya, cetuslah sejumlah tanya soal dasar negara Indonesia. Apakah Indonesia akan menganut gerak-gerik komunisme layaknya Uni Soviet? Apakah Indonesia akan larut dalam dominasi Islam menjadi negeri sharia layaknya kesultanan? Bahkan pecah dalam kesatuan-federatif layaknya Amerika Serikat?
Tugas yang dimiliki oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menghadapi perihal ini, tidaklah mudah untuk dituntaskan. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia menjadi pengaruh sekaligus tantangan dalam menyusun dasar negara yang mencakupi keseluruhan dari masyarakat.
Dengan falsafah yang unik mengakar rumput di setiap daerah warisan para leluhur tanah Indonesia, tertuanglah sudah tiga gagasan oleh Mohammad Yamin, Soekarno, dan Mr. Soepomo ketika berdiskusi. Dimana, akhirnya membuahkan sebuah solusi berupa Piagam Jakarta, yang kemudian disempurnakan menjadi Pancasila.
Singkatnya, Pancasila dirumuskan sebagai pedoman, falsafah, dan pandangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila terdiri dari lima gagasan utama yang berlandaskan nilai luhur masyarakat Indonesia; ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, musyawarah, dan kesejahteraan sosial.
Maka bersilanglah puluhan tahun setelah Pancasila diresmikan sebagai dasar negara. Dan kini terlihatlah jernih kondisi negeri kita yang justru menyimpang jauh dari cita-cita dan falsafah hidup yang tertuang dalam Pancasila. Konflik antar warga selalu bertunas, kesejahteraan selamanya tertunda, dan keadilan kian terampas.
Lalu, jika tujuan Pancasila adalah sebagai platform terbuka, yang akan terus bersesuaian dengan pergantian zaman, maka mengapa implementasinya masih tidak maksimal?
Perdamaian dan kerukunan abadi adalah tujuan dari Sila Pertama, selaku pedoman kehidupan untuk selalu mempercayai kehadiran Tuhan dan saling toleransi antar umat beragama.
Namun, telah gagal upaya kita dalam merealisasikan gagasan ini. Terlihat jernih frekuensi konflik antar umat beragama yang sangat tinggi. Entah itu antar agama satu dengan agama lainnya atau aliran satu dengan aliran lainnya. Sebagai bangsa yang mengutarakan asas unity in diversity, terasa anulir bila toleransi saja sampai dianggap sebagai suatu hal yang elusif.
Mendorong pemahaman derajat manusia yang sama adalah dasar dari Sila Kedua. Tidak ada yang saling membedakan satu sama lain, memandang dunia berdasarkan warna atau bentuk fisik, dan selalu mempraktisi empati diatas keangkuhan diri.
Advokasi memanusiakan manusia ini tanpa tiada merupakan gagasan yang amat mulia. Namun mengapa rasisme, diskriminasi, dan xenofobia tetap relevan dalam pesta keberagaman kita ini? Sudah tergambar jelas, bahwa tidak ada ruang untuk pelanggaran sedemikian rupa dalam negeri ini.