Lihat ke Halaman Asli

Sultan Sulaiman

Seorang Buruh Negara

Menerabas Etika Jurnalistik

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

142016215125703876

[caption id="attachment_344455" align="aligncenter" width="546" caption="Proses Evakuasi Jenazah Air-Asia"][/caption]

Telah lama, sejak belajar Jurnalistik di bangku kuliah, hal yang paling sering didengar dari pengajar seputar idealisme jurnalistik adalah “idealisme itu telah mati”. Edealisme dalam ranah jurnalistik sekadar nyaring dikhutbahkan, nihil aplikasi. Teriakan-teriakan seputar etika jurnalistik tak benar bisa mengakar dari jurnalis, apalagi melembaga jadi idealisme dalam industri-industri penjual kabar (Pers). Dengan alasan liputan, hal moral etis sering diterabas, bahkan diinjak-injak demi aktulitas liputan. Etika Jurnalistik dengan mudah dikencingi, pula sengaja dikentuti demi menjadi terdepan sebagai penyampai kabar. Idealisme jurnalistik yang berdasar “etika” telah berganti wajah menjadi bidak-bidak kapital yang meraup bongkah untung dari gelimang air mata banyak pihak. Dari air mata, jurnalis dan media tempatnya bernaung kenyang dan mencari makan.

Liputan yang disiarkan salah satu teve swasta nasional terhadap proses evakuasi korban pesawat Airasia QZ8501 tanpa sensor sekilas tidak bermasalah. Tapi, itu menjadi fatal jika bersanding dengan “Etika Jurnalistik”. Kita bertanya, dalam kacamata Etika Jurnalistik apakah suguhan serupa itu layak menjadi tontonan publik, lalu berkilah dan dengan mudah meminta maaf dengan alasan “sekadar mengungkap hasil liputan” agar semuanya tampak jelas, agar segalanya tidak simpang-siur? Entah, falsafah jurnalistik apa yang digunakan oleh sang jurnalis dan media yang menaungi dengan gamblang memblouw-up liputan evakuasi korban Airasia tersebut.

Memang, Media Audio Visual menjadi sangat rentan melanggar aspek etika ini dalam menyuguhkan liputan, apalagi liputan langsung (live). Menurut Winarto, Seorang Senior News Producer, hal teknis yang sering dialami oleh media audio visual berkenaan dengan penyuguhan gambar (visual), audio, dan teks secara bersamaan. Hal ini rawan, utamanya dalam menegakkan etika jurnalistik.

Masih ujar Winarto, dalam menyuguhkan liputan langsung, perkembangan teknologi sebenarnya bisa membantu menegakkan etika jurnalistik sejauh para jurnalis menyadarinya dan berniat menjalankannya. Teknologi digital video editing sangat berguna menyamarkan narasumber baik secara visual maupun audio. Juga untuk mengurangi efek dramatis suatu kejadian. Yang digarisbawahi, niat media dan jurnalis yang bersangkutan tentang apa yang hendak dicapai dengan berita yang disajikan.

Kita bertanya, apa yang hendak dicapai oleh stasion televisi swasta yang menayangkan liputan korban Airasia tersebut tanpa sensor? Dari segi niat, tersiratitikad baik, juga pada apa yang hendak dicapai. Namun apakah itu sudah proporsional dan berpihak pada pilihan nurani?

Bukan hanya menerabas etika jurnalistik, tapi pula memberangus elemen vital jurnalisme yang pernah dilontarkan oleh Bill Kovach. Dari beberapa elemenn jurnalistik yang disampaikan Kovach, hemat saya, jurnalis dan media telah melanggar setidaknya tiga poin.

Pertama, independensi obyek liputan. Jurnalis dan media harus bisa memastikan bahwa tidak ada aspek yang dilukai dari obyek liputan. Aspek tersebut tentu berkenaan dengan hal etis, seputar kehormatan dan harga diri, termasuk hal lain yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan. Obyek liputan harus dipastikan merdeka, tidak terjajah oleh liputan jurnalis dan media. Pada posisi ini, jurnalis dan media harus menunjukkan komitmennya untuk berpihak pada etika jurnalitik dan pada kode etik jurnalistik yang dianutnya. Sensor atau penyamaran jelas penting untuk kasus evakuasi korban Airasia, jika kita masih berpikir tentang pihak lain yang jelas terlukai: keluarga korban.

Kedua, penyajian berita yang komprehensif dan proporsional. Komprehensif bukan berarti harus menayangkan liputan secara gamblang, tanpa selektif memilah konten apa yang harus dan layak disuguhkan. Bukan memilih menyuguhkan segalanya lalu menguncinya dengan permohonan maaf, karena bagi kita, apalagi bagi keluarga korban berita yang sitampilkan sungguh mengerikan dan memiriskan.

Ketiga, pilihan pada hati nurani. Untuk obyek kecelakaan, serupa korban Airasia itu, tentu pilihan sulit bagi jurnalis. Meski sulit, jurnalis tetap diminta mampu menentukan pilihan berdasarkan kejernihan nurani. Menyajikan gambar korban yang mengambang di lautan dengan kondisi mengenaskan jelas pelanggaran. Pelanggaran pada nurani kemanusiaan. Pilihan nurani ini harusnya menjadi panglima para jurnalis sehingga tak merasa disandera karena ceroboh yang seharusnya tak dilakukan.

Semoga korban Airasia QZ8501 segera ditemukan dan para keluarga senantiasa berselimut kesabaran sebab takdir telah berbicara. Amin...!

Silakan juga dibaca:

Pulau Saronde

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline