Lihat ke Halaman Asli

Sultani

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas

Media Sosial dan Realitas Politik yang Dilebih-lebihkan

Diperbarui: 10 Januari 2024   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menggunakan media sosial (Shutterstock/Cristian Dina via KOMPAS.com)

Oleh: Sultani

Peran media sosial yang mendominasi cara komunikasi kita sekarang telah bertransformasi dari sekadar media komunikasi menjadi media mobilisasi opini publik. Pergeseran fungsi ini setidaknya bisa dilihat dari peran media sosial dalam politik kita selama satu dekade terakhir ini.

Tren penggunaan media sosial dalam politik, khususnya politik kontestasi berbasis elektoral sekarang, sangat efektif untuk memobilisasi opini publik berdasarkan isu-isu yang dilontarkan oleh para politisi. Karena itulah popularitas media sosial dalam politik meningkat drastis menjelang saat-saat kontestasi politik seperti Pemilihan Presiden 2024.

Tren maraknya isu-isu politik tersebar melalui media sosial sudah populer sejak Pilgub DKI Jakarta 2012. Namun, tren tersebut mengalami amplifikasi yang signifikan pada Pilpres 2014.

Meski saat itu platform media sosial masih terbatas, namun pola penyebaran isu-isu politik terjadi secara masif, berulang-ulang, dan terstruktur. Dari media sosial lah semua berita dan isu politik palsu atau bohong diproduksi secara massal, seperti seperti negative campaign (kampanye negatif), black campaign (kampanye gelap), hate speech (ujaran kebencian), dan hoax (berita bohong).

Semua kebohongan atau kepalsuan tersebut menghasilkan gelombang firehose of falsehood (semburan dusta) yang sepanjang Pemilu 2014. Semburan dusta ini bertebaran dengan pola yang terstruktur, diulang-ulang, dan mengaduk-aduk emosi serta kepercayaan seseorang.

Ironisnya, semburan dusta ini tetap saja ada meski musim pemilu sudah berlalu. Fenomena semburan dusta semakin subur karena masyarakat penerimanya menyukai kabar bohong asal menyenangkan. Padahal, daya rusak semburan dusta begitu nyata, memengaruhi individu hingga bisa merusak tatanan sosial suatu bangsa.

Pola menyerang berulang-ulang untuk mengurung obyek-obyek kebencian menggunakan media sosial tetap dilestarikan sehingga selalu muncul menjelang kontestasi politik nasional seperti Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Penyerang-penyerang baru banyak bermunculan. Mereka bekerja dengan cara yang sama. Objek kebencian kian rentan jadi sasaran serangan sehingga jatuh nilai sosialnya.

Semburan dusta adalah salah satu bentuk perang gerilya psikologis di era media sosial. Semburan dusta ini hanya dimungkinkan terjadi dalam masyarakat di mana tiap orang punya akses media sosial. Semakin banyak orang yang bisa akses media sosial maka jangkauan semburan dusta bisa semakin luas juga.

Sumber: viva.co.id

Disrupsi Komunikasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline