Kemana perginya demokrasi di tanah air tercinta? Pertanyaan itu mungkin seringkali terlintas di kepala kita, ketika ketimpangan merajalela bahkan kehadiran kebenaran terkesan ditutup-tutupi telah jadi suatu hal yang lumrah. Negara Indonesia yang katanya Negara hukumva (rechstaat) ini, celakanya malah menjadi sarang empuk bagi tirani yang mengatasnamakan demokrasi (re: oligarki).
Saya tidak bermaksud untuk memberikan jawaban yang sangat komprehensif tentang bangsa ini yang belum sepenuhnya dimanusiakan. Dalam kesempatan ini saya hanya akan menjabarkan salah satu sumber dari minimnya demokrasi hingga terjadi hilangnya sense of justice adalah karena tidak berfungsinya negara hukum(rechstaat).
Tepatnya rule of the law yang puluhan tahun telah berpindah dari orde baru ke reformasi masih tetap sama, ya masih sama-sama penuh noda dan tidak berjalan semestinya. Masih banyak oknum polisi yang sewenang-wenang dengan kekuasaannya, oknum jaksa yang memeras pencari keadilan, dan banyak oknum hakim yang berselingkuh dengan ketidakadilan. Ini THE TRUTH! dan sangat tidak heran apabila animo masyarakat menyambutnya dengan sebuah ketidakpercayaan.
Dilansir oleh Kompas.com, menurut Charta Politika, dikatakan bahwa telah ada penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Hal tersebut diutarakan langsung oleh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menjelaskan bahwa lembaga penegak hukum yang dimaksud, yakni Polri, KPK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. "Ada pola yang sama bahwa (kepercayaan publik) dari Polri, KPK, Kejaksaan, MA dan MK mengalami penurunan," ujar Yunarto dalam konferensi pers survei Trend tiga Bulan Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum pada Masa Pandemi Covid-19, Rabu (22/7/2020).
Lebih lanjut ditegaskan, "bahwa pada bulan Juli 2020 ini, angka kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut masing-masing 61,6 persen, 60 persen dan 59,4 persen." Angka itu disebut Yunarto, lebih rendah dibandingkan bulan Mei dan Juni lalu.
Bahwa pada dasarnya tendensi dari menurunnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum bisa terjadi karena banyaknya faktor. Misal; mal-administrasi, represif, ketidakadilan atau bahkan korupsi. Dan hal tersebut bisa saja membuat amarah masyarakat kian menjadi-jadi. Yang menjadikannya hal paling fatal adalah hal tersebut terjadi di jantung rumah-rumah keadilan dan hukum. Yang pada dasarnya lembaga tersebut harusnya berfungsi sebagai mata air keadilan.
Beberapa contoh dapat sangat kentara ditemukan dengan membacanya di media-media berita, seperti kasus suap dan melakukan pemerasan atau penyalahgunaan wewenang terhadap 61 Kepala SMAN seluruh Indragiri Hulu, Riau, oleh Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Rengat, Hayin Suhikoto.
Dan juga masih banyak kasus lainnya, bahkan dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sudah ada 20 hakim yang tersangkut korupsi sejak 2012 hingga 2019. Bahkan sekaliber lembaga yang diamanahi untuk menindak, mencegah, menyelidiki urusan tersebut. Nyatanya tersandung korupsi juga. Dilansir dalam Kompas.com Pada Kamis (22/4/2021) pekan lalu, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan konferensi pers dan menetapkan tiga orang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pada dugaan perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Tanjungbalai, Sumatera Utara 2020-2021.
Salah satu dari tiga orang tersangka itu yakni penyidik KPK, Ajun Komisiaris Polisi (AKP) Stepanus Robin Patujju.
Bahkan untuk sekelas penindak di lapangan sekalipun, yang konon bertugas untuk mengayomi rakyat ini; polisi, tidak terlepas dari penyalahgunaan kekuasaan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Kepolisian harus mengusut dugaan pelanggaran SOP atas penangkapan Munarman di kasus dugaan terorisme. Usman menilai, polisi terkesan sewenang-wenang.
"Polisi terkesan melakukan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap Munarman, serta mempertontonkan secara gamblang tindakan aparat yang tidak menghargai nilai-nilai HAM ketika menjemputnya dengan paksa, " kata Usman dalam keterangannya, Rabu (28/4).