SENGAJA, tulisan ini TIDAK saya masukkan di buku Muhammadiyah itu NU! sebab suatu hal. Tolong agar ini diperbaiki, sebab sudah semestinya ada kesalahan di dalamnya. Terima kasih.
TARAWIH 4-4-3
Oleh: Mochammad Ali Shodiqin
Diunggah: 19-7-2015
Terus terang, qiyamur Ramadhan alias tarawih 4-4-3 itu tidak boleh dianggap remeh penentuan hukumnya. Muhammadiyah menentukan hukum sholat sunah atau tathowwu’ dalam pembahasan Majlis Tarjih sedikitnya hingga 3x, yaitu tahun 1968, 1972, dan 1976 (HPT 2011: 385), sebagai wujud kesungguhan dalam memberikan kepastian kepada umat. Saya sendiri selama 20 tahun di Yogyakarta dari 1995-2015 sekarang sudah terbiasa dengan tarawih 4-4-3.
Saya tunduk dengan adat setempat di sini yang mendasarkan hukum tarawih dengan merujuk kabar dari istri ke-3 Nabi, yaitu Siti Aisyah putri Abu Bakar. Wanita cantik berpipi kemerahan itu berusia 7 tahun ketika Nabi meminangnya sesaat sebelum beliau hijrah, dan berusia 9 tahun ketika memasuki rumah Nabi pada tahun ke-2 hijrah. Beberapa saat sebelum meminang Siti Aisyah, Nabi menikahi seorang janda sahabatnya yang beranak 5 yaitu Saudah putri Zam’ah. Nabi sendiri berangkat hijrah/pindahan pada tahun 622 M, dari Mekah sejauh 320 kilometer ke Madinah saat berusia 53 tahun dan bermukim di sana selama 10 tahun. Perjalanan hijrah Nabi itu ditemani Abu Bakar, ayah Siti Aisyah.
Nabi menikahi Siti Aisyah setelah menduda 2 tahun sepeninggal istri ke-1 beliau Siti Khadijah, seorang janda sekaligus bosnya, yang dinikahi saat berusia 40 tahun dan Nabi saat itu bujangan berusia 25 tahun. Siti Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang masih perawan saat beliau nikahi, sedang istri-istri lainnya semuanya janda saat dinikahi Nabi. Dan selisih usia Siti Aisyah dengan Nabi sekitar 45 tahun. Siti Aisyah menemani kehidupan Nabi selama 9 tahun, dan kelak Nabi wafat di kamar Siti Aisyah, dan dikuburkan pula di sana pada tahun 10 H. Saat Nabi wafat di usia 63 tahun, usia Siti Aisyah sekitar 18 tahun.
Saat Nabi menikahi Siti Aisyah, pasukan Nabi telah berjumlah sedikitnya 313 orang dan berhasil memenangkan perang perdananya di kampung Badar dengan mengalahkan 1.000 musuh yang berasal dari kota kelahirannya Mekah.
Kamar Siti Aisyah pun menjadi ramai oleh para peziarah, dan beliau menerima semua peziarah itu di sisa hidupnya yang menjanda, dan hingga wafatnya di usia 66 tahun, pada tahun 58 H, beliau menjadi tempat orang bertanya tentang tentang Islam, serta mengabarkan hadis paling banyak dari siapapun juga, yaitu 1.210 hadis.
Nah, di rumahnya Madinah itulah Siti Aisyah menyaksikan Nabi sholat di malam hari dengan susunan 4-4-3, baik di bulan Ramadhan dan bulan-bulan selainnya, dan tidak menambahinya lebih dari 11 rokaat. Kabar dari Siti Aisyah ini kelak ratusan tahun kemudian ditelisik oleh seorang penulis hadis dari Bukhara Uzbekistan Asia Tengah yang dikenal dengan nama Bukhori (lahir 196 H/810 M - wafat 256 H/870 M). Penulis ini menemukan kabar 4-4-3 itu dari penuturan Abu Salamah putra Abdurrahman saat beliau menanyai Siti Aisyah. Kabar itu juga diriwayatkan oleh penulis hadis lainnya, termasuk Muslim (lahir 204 H/821 M- wafat 261 H/875 M). Selain 4-4-3, Siti Aisyah juga mengabarkan 8-2-1 kepada Sa’ad putra Hisyam yang kemudian ditulis oleh penulis hadis bernama Nasa’i (lahir 215 H - wafat 303 H/915 M), dan penulis Abu Dawud (lahir 202 H/817 M – wafat 275 H/888 M). Siti Aisyah juga mengabarkan 2-2-2-2-2-1 sebagaimana ditulis oleh penulis hadis Bukhori, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad. Selain itu, Siti Aisyah juga mengabarkan cara sholat Nabi di malam hari yang beragam lagi caranya, di antaranya 7 rokaat dengan susunan 4-3, juga 9 rokaat dengan susunan 6-3, serta 11 rokaat dengan susunan 8-3, juga 13 rokaat dengan susunan 10-3, dimana itu termasuk sholat iftitah dan atau sholat sunah fajar/qabliyah subuh. Semua sholat sunah malam hari itu bilangan rokaatnya ganjil atau witir dan karenanya dikenal dengan sholat witir sejak zaman Nabi.
Siti Aisyah banyak mengabarkan cara sholat witir Nabi di rumahnya itu sebab beliaulah istri termuda Nabi dan dikenal cerdas serta banyak menemani malam-malam Nabi di rumahnya yang letaknya bersebelahan dan menempel dengan masjid Nabawi.
Sementara itu, Nabi pernah keluar rumah untuk sholat malam di bulan Ramadhan dengan berjamaah dengan orang banyak di masjid Nabawi, setidaknya selama 3 malam saja, yaitu pada malam tanggal 23, 25, dan 27 Ramadhan. Jumlah rokaatnya genap, bukan ganjil atau witir, yaitu 8 rokaat. Sholat inilah yang kemudian dikenal dengan nama tarawih yang artinya banyak beristirahat.
Masjid Nabawi atau masjid Nabi ini letaknya bersebelahan dengan kamar Siti Aisyah. Namun, sesudah itu Nabi tidak melanjutkan sholat tarawih berjamaah lagi sebab takut jika sholat sunah itu menjadi wajib hukumnya di kemudian hari.
Ada riwayat, sesudah para sahabat itu tarawih 8 rokaat berjamaah bersama Nabi di masjid, mereka sholat lagi di rumah masing-masing. Mereka memperbanyak sholat tarawih di bulan Ramadhan, dan selalu melengkapinya dengan sholat witir berokaat ganjil. Sholat witir itu selalu dilakukan setiap malam, baik di bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, sebagaimana dilakukan Nabi dan diriwayatkan oleh Siti Aisyah.
Selanjutnya, sholat tarawih itu dilakukan umat Islam pada bulan Ramadhan di masjid secara berjamaah dengan jumlah rokaat beragam sesuai kehendak imamnya. Semua orang berlomba memperbanyak rokaat tarawih, sebab tidak ada larangan untuk itu, dan Islam pun tidak membatasi rokaatnya dengan pasti, melainkan sesuai keyakinan dan kemampuan masing-masing. Demikianlah yang berlaku sepeninggal Nabi, hingga 2 tahun masa kepemimpinan Abu Bakar (632-634 M).
Setelah 10 tahun kepemimpinan Umar (634-644 M), beliau memandang jamaah tarawih itu tidak teratur, hingga pada tahun 14 H ditunjuklah Ubay putra Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami sholat tarawih di bulan Ramadhan. Jamaah sholat tarawih dengan 1 imam ini dilakukan sebanyak 20 rokaat, 2-2-2-2-2-2-2-2-2-2, ditambah witir 3 rokaat, 2-1, dan diikuti beberapa sahabat yang terkenal dan terkemuka dan tidak seorangpun yang membantah Umar. Ketika itu Siti Aisyah putri Abu Bakar masih hidup.
Ijtihad Umar itu telah berlaku setidaknya 1.400 tahun hingga kini di Tanah Suci, dan tidak pernah berubah. Hal itulah yang banyak berlaku di segenap penjuru dunia, termasuk dilakukan kaum Muhammadiyah di zaman Kiai Dahlan dan masa-masa berikutnya, sebelum akhirnya diubah 11 rokaat dengan susunan 4-4-3. Perubahan itu alasannya mencontoh langsung kepada Nabi, dengan merujuk kabar dari Siti Aisyah, bukan mencontoh Umar yang 20 rokaat. Padahal sholat tarawih berjamaah Nabi di masjid jumlahnya genap 8 rokaat, bukan ganjil 11 rokaat. Artinya, sholat yang diimami Nabi di masjid yang dilakukan hanya pada bulan Ramadhan, jadi hanya pada bulan Ramadhan, sejumlah 8 rokaat berjamaah itu adalah sholat tarawih, bukan sholat witir 11 rokaat yang dilakukan beliau setiap malam di rumahnya, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. Jadi kabar dari Siti Aisyah 4-4-3 itu bukan tentang sholat tarawih melainkan sholat witir, dan itu sederajat dengan kabar 8-2-1, atau 2-2-2-2-2-1, atau 4-3, atau 6-3, atau 8-3, dan juga 10-3, yang kesemuanya berokaat ganjil atau witir. Sehingga jelaslah antara tarawih dan witir memiliki perbedaan yang nyata.
Sedangkan sholat tarawih 8 rokaat Nabi ketika Ramadhan dulu itu tentunya telah diingat betul-betul oleh sahabat-sahabat beliau, terutama kaum pria yang memakmuminya di masjid. Kaum pria yang memakmumi Nabi tentunya telah tahu caranya sholat tarawih 8 rokaat itu dan mereka tentu mencontoh sholat Nabi itu. Mereka tahu, karena sholat tarawih Nabi itu dilakukan di depan umum, yaitu di masjid. Jadi semuanya sudah maklum adanya. Lalu mereka pun mencontohnya dan terus mencontohnya dengan bersemangat sampai memperbanyak rokaatnya hingga Umar mengaturnya menjadi 20 rokaat. Sholat tarawih itu pun dilakukan dengan 2 rokaat salam.
Lantas bagaimana dengan sholat 4-4-3, dan kenapa beberapa sahabat pria menanyai Siti Aisyah tentang sholat witir 4-4-3 itu? Jawabannya sederhana. Nabi melakukan sholat witir itu bukan di tempat umum, bukan di masjid, melainkan di rumah bersama istri tercintanya Siti Aisyah, di malam hari, sehingga para sahabat pria itu tidak mungkin mengintip kegiatan malam Nabi bersama istrinya. Makanya mereka bertanya tentang sholat witir itu, sebab mereka tidak tahu secara langsung. Pastilah, mereka tidak bertanya tentang sholat tarawih 8 rokaat sebab mereka telah tahu dan telah menjalaninya secara langsung dengan memakmumi Nabi.
Begitulah pembahasan mengenai perbedaan dan persamaan sholat sunah atau tathowwu’ antara witir di tiap malam dengan tarawih yang hanya dilakukan di malam Ramadhan. Dan Muhammadiyah membahas perihal sholat sunah atau tathowwu’ ini sedikitnya hingga 3x, yaitu tahun 1968, 1972, dan 1976 (HPT 2011: 385). Muhammadiyah pun tidak menyebut sholat sunah di malam Ramadhan itu sebagai sholat tarawih atau witir, atau tahajud, atau hajat, melainkan disamakan semuanya dengan nama sholat malam atau sholat lail, dan terkadang disebut Qiyamur Ramadhan. Dan semua kini maklum Muhammadiyah melakukan sholat sunah itu 11 rokaat di bulan Ramadhan dengan susunan 4-4-3. Ini adalah rokaat yang sangat sedikit, dibanding jamaah lain yang melakukannya 20 rokaat, ada juga yang 36 rokaat, baik dengan membaca surat-surat pendek maupun mengkhatamkan Al-Quran 30 juz.
Orang awam mengatakan tarawih Muhammadiyah itu 11 rokaat, walaupun ada bantahan kalau itu bukan tarawih melainkan sholat malam Ramadhan. Sedangkan orang awam yang ikut tarawih 20 rokaat, atau 36 rokaat, akan melengkapinya dengan sholat witir 3 rokaat. Mereka membedakan dengan jelas antara tarawih dan witir, dengan cara membaca niat sholat yang beda, karena memang niatnya sholat tarawih berbeda dengan niat sholat witir. Terkecuali untuk seseorang yang sholatnya tanpa membaca niat kemungkinan akan sulit memahami beberapa perbedaan antara tarawih dan witir ini.
Perbedaan antara tarawih dan witir ini sangat berguna untuk menandai datangnya bulan suci Ramadhan. Nama tarawih digunakan untuk memuliakan malam Ramadhan karena ibadah di malam bulan suci itu pahalanya berlipat ganda dibanding malam lainnya. Umat Islam pun memberi nama-nama pada sholat-sholat yang beragam untuk menandainya dan membedakan cara-caranya. Misalnya Sholat Isya’ 4 rokaat, yang mana itu merupakan sholat wajib malam hari yang periodenya harian. Walaupun dilakukan malam hari, namun namanya bukan sholat malam atau sholat Lail, sebab ada nama sendiri yang telah lazim. Sedangkan tarawih dibedakan dengan witir, sebab tarawih itu sholat sunah malam hari yang periodenya tahunan, yaitu khusus di bulan Ramadhan saja. Ada juga sholat sunah malam hari lainnya yang periodenya hanya saat terjadi gerhana bulan saja, yang dinamakan sholat Khusuf.
Keberanian Muhammadiyah dalam menetapkan sholat malam Ramadhan 11 rokaat itu sangat khas dan perlu dipelajari lebih lanjut. Sebab itu sangat luar biasa. Dari pembahasan mengenai sholat sunah atau sholat tathawwu’ yang dilakukan Majlis Tarjih hingga 3x itu menyisakan pertanyaan besar seputar keadaan negara kita waktu itu. Karena keadaan negara turut mempengaruhi jalannya ibadah umat. Sayangnya saya belum menemukan dokumen rapat-rapat Majlis Tarjih yang pasti sangat berharga di masa-masa itu.
Walaupun saya tidak menemukan dokumen itu, tapi saya yakin dengan pasti bahwa para ulama yang bermusyawarah di dalamnya tidak berniat untuk menghapus ajaran Nabi perihal sholat tarawih. Kaum ulama tidak mungkin menggeser dalil sholat witir harian 4-4-3 ke malam Ramadhan untuk menghapus tarawih. Demi Allah, saya yakin, di negeri ini tidak ada ulama yang berniat menghapuskan ajaran Nabi. Pun tarawih bukan wajib, hanya sunah, dan Nabi melakukannya setidaknya hanya pada 3 malam saja di bulan Ramadhan.
Saya sendiri telah lama ikut 4-4-3, dan sesekali ikut ijtihad Umar yang 2-2-2-2-2-2-2-2-2-2-2-1, sebab ijtihad beliau itu sangat baik dan benar. Ijtihad Umar yang juga saya ikuti adalah usulannya membukukan Kalamullah Al-Qur’an yang ayat-ayatnya ditulis para sahabat di lembaran kulit, maupun tulang. Pembukuan itu menghasilkan mushaf Al-Qur’an di masa Utsman, sebagaimana salinannya banyak kita miliki di rumah kita. Nah, saya terima ijtihad Umar untuk tarawih 2-2-2-2-2-2-2-2-2-2-2-1 sebab saya pun menerima mushaf Al-Qur’an usulannya, dan kalau saya menolak ijtihadnya pasti saya akan kesulitan kalau harus mengikuti jejak sahabat masa awal yang membaca Al-Qur’an dari lembaran kulit...... Masya Allah, zaman gini gitu loh.... Wallahu alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H