Oleh: Sultan Alam Gilang Kusuma (Founder Fodaru, Peneliti PostNet, IR Student)
Fenomena "Spring" atau musim semi politik telah menjadi istilah yang menarik perhatian para pengamat politik global. Meskipun banyak yang mengartikannya sebagai proses demokratisasi, interpretasi yang lebih tepat adalah terjadinya pergantian kepemimpinan secara masif akibat gerakan seismik politik yang melanda suatu kawasan. Peristiwa ini tidak selalu identik dengan demokratisasi, namun lebih kepada runtuhnya struktur kekuasaan yang telah mapan akibat tekanan dari berbagai arah.
Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah menjadi contoh nyata bagaimana gelombang perubahan politik dapat menyapu bersih para pemimpin yang sebelumnya tampak tak tergoyahkan. Dimulai dari Tunisia, efek domino dengan cepat menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, dan negara-negara Arab lainnya. Fenomena ini membuktikan bahwa tidak ada kekuasaan yang benar-benar kebal terhadap gelombang perubahan ketika kondisi pemicunya telah matang.
Kawasan ASEAN sendiri pernah mengalami "Spring" versinya sendiri pada tahun 1998, dipicu oleh krisis moneter yang memorak-porandakan ekonomi regional. Indonesia menjadi contoh paling dramatis, dengan tumbangnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Thailand dan Filipina juga mengalami gejolak politik yang signifikan pada periode tersebut, menunjukkan bahwa kawasan ASEAN tidak imun terhadap gelombang perubahan besar.
Saat ini, indikator menuju ASEAN Spring kembali menunjukkan tanda-tandanya. Fenomena nepotisme politik atau "nepo baby" telah menjadi katalis ketidakpuasan publik di berbagai negara ASEAN. Di Thailand, dominasi elit militer dan kerajaan terus mendapat tantangan dari gerakan pro-demokrasi. Filipina menghadapi kritik tajam atas dinasti politik Marcos-Duterte. Myanmar bergulat dengan kudeta militer, sementara Indonesia menghadapi polemik terkait dinastisasi politik.
Untuk mewujudkan perubahan sistemik, gerakan sipil perlu memahami dan mengimplementasikan empat syarat krusial. Pertama, menggoyang stabilitas politik sipil dengan membongkar persekongkolan elit yang bersembunyi di balik narasi persatuan nasional. Strategi ini penting untuk memecah konsentrasi kekuasaan yang terpusat pada segelintir elit.
Syarat kedua adalah membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan publik. Program-program populis yang sebenarnya hanya bersifat kosmetik perlu dibongkar, menunjukkan bahwa "bread and circus" hanyalah strategi pengalihan dari isu-isu fundamental.
Ketiga, pentingnya strategi untuk melemahkan kekuatan militer dengan menciptakan friksi internal. Perpecahan dalam institusi militer historis telah terbukti menjadi faktor penting dalam keberhasilan perubahan rezim di berbagai negara. Namun, strategi ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari chaos yang tidak terkendali.
Syarat terakhir adalah mengundang perhatian internasional. Meskipun kontroversial, tekanan dari komunitas internasional sering kali menjadi faktor penting dalam mendorong perubahan politik domestik. Namun, hal ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan risiko intervensi yang berlebihan yang dapat mengancam kedaulatan nasional. ASEAN Spring, jika terjadi, harus tetap menjadi gerakan yang berakar pada aspirasi rakyat lokal, bukan sekadar proxy dari kepentingan asing.
Gelombang perubahan politik di Asia Tenggara bukanlah sekadar mimpi di siang bolong. Ia adalah keniscayaan sejarah yang tengah mengetuk pintu kesadaran kita. Saat ini, kita berdiri di persimpangan crucial: memilih untuk tetap terlelap dalam zona nyaman status quo, atau bangkit menuntut transformasi fundamental yang sudah terlalu lama tertunda.