Lihat ke Halaman Asli

IDR, Sumber Malapetaka di Kasus Bank Century

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kasus Bank Century, sebuah kasus yang entah lah apa namanya, ada yang mengatakan kasus mega korupsi, kasus kesalahan sistem, kasus konspirasi tingkat tinggi, atau mungkin masih ada sebutan lain?... Namun yang jelas, kasus ini begitu menyedot energi bangsa ini ! dari ruang rapat pejabat hingga ke pematang sawah di pelosok kampung sana, tema century selalu "seksi" untuk dibicarakan.

Untuk membongkarnya? lagi-lagi kita mengandalkan solusi normatif yang sudah terbukti jitu menurunkan seorang presiden. Solusi normatif tersebut adalah melalui jalur parlemen, yaitu hak angket yang tentu pertanyaan-pertanyaan dalam hak angket tersebut didapat dari investigasi dan "perjuangan" melelahkan dari Panitia Khusus (Pansus) yang menurut bisik-bisik dari media bahwa dana operasional pansus sudah lebih dari cukup untuk merenovasi 25 gedung ES-DE kita yang pada doyong ...

Di minggu pertama Februari ini, kita menyaksikan fase akhir dari drama perjalanan Pansus yang sebelumnya telah mempertontonkan kepada kita betapa seriusnya Bapak-bapak Pansus ini dalam niatnya untuk membongkar kasus Bank Century. Saking seriusnya, sampai-sampai forum pansus tak ubahnya media penghakiman bagi para saksi, tak jarang Bapak-bapak anggota legislatif yang terhormat ini terlibat debat yang tidak substansial antar mereka sendiri, hmm ...

Fase akhir tersebut berupa kesimpulan (ada sebagian fraksi yang tidak setuju dengan penggunaan kata "kesimpulan" ini) yang katanya pada Maret nanti akan dibawa ke sidang paripurna DPR. Itu pun jika usia pansus tidak diperpanjang, masih menurut bisik-bisik dari media, ada kemungkinan usia pansus akan diperpanjang mengingat adanya testimoni Bapak Komjen Susno Djuaji yang memerlukan investigasi lebih rumit karena dalam testimoni tersebut menyebut-nyebut orang nomor 2 di Republik ini. Jika itu terjadi, artinya budget pansus akan sama dengan biaya renovasi 50 gedung ES-DE kita yang pada doyong tersebut, he ...

Stop, di tulisan ini saya tidak sedang membicarakan perjalanan Pansus Century. Tapi saya mengajak kita semua untuk menganalisa lebih mendalam tentang "Mengapa terjadi silang pendapat antar pejabat BI sendiri tentang status uang 6,7 T ?, Mengapa ada perubahan tentang besaran kucuran hingga membengkak menjadi 6,7 T ? Mengapa para pejabat BI terkesan tutup mulut tentang apa sebetulnya yang terjadi ?, Bagaimana sebetulnya mekanisme kebijakan yang ada di BI ? Bagaimana pula uang sebesar 6,7 T bisa tidak terlacak oleh lembaga kredibel seperti PPATK ?...", serta mengapa, mengapa lainnya yang jika kita pertanyakan satu persatu akan membuat kita semakin frustasi.

Ok, kita simpulkan saja pertanyaan di atas dengan satu pertanyaan, "Apa sebetulnya yang terjadi pada Bank Century ? ..." Sebelum masuk ke substansi masalah, ada baiknya saya me-review sedikit tentang perjalanan ekonomi Negeri ini dari era Soekarno, Soeharto, hingga era reformasi ini. Agar kita bisa menangkap kerangka yang utuh tentang apa sebetulnya yang terjadi pada kasus Bank Century, dan selanjutnya kita bisa mengambil kesimpulan arif yang tidak bertendensi apapun.

Empat Puluh Tujuh tahun silam, tepatnya pada November 1963, Presiden kita yang pertama Ir. Soekarno pernah mengadakan sebuah perjanjian dengan Presiden Amerika, John F. Kennedy yang dikenal dengan The Green Hilton Agreement. Perjanjian yang oleh dunia moneter dipandang sebagai fondasi kolateral ekonomi dunia.

Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia memiliki asset kekayaan yang melimpah sebagai peninggalan raja-raja Nusantara. Menurut para tetua di negeri ini dan menurut literatur sejarah yang saya dapat, dahulu kala para raja dan kalangan darah biru di Nusantara lebih menyukai menyimpan harta kekayaan dalam bentuk batangan emas di The Javache Bank, bank central milik Belanda (kini menjadi BI). Karena nafsu kolonialnya, Belanda memboyong seluruh harta tersebut ke negerinya. Pada waktu pecah perang antara Belanda dengan Jerman yang dimenangkan oleh Jerman, Hitler dengan Nazinya memboyong seluruh harta tersebut ke Jerman. Pada waktu pecah perang dunia II, Jerman kalah perang oleh Amerika, maka harta itupun berpindah tangan ke Amerika. Dan dengan modal harta tersebut, Amerika mendirikan The Federal Reserve Bank (FED), yaitu BI-nya Amerika.

Keberadaan harta dalam bentuk batangan-batangan emas yang tersebar di Bank-Bank Eropa dan Amerika, menjadi berita buruk sekaligus berita baik bagi Bung Karno dan Rakyat Indonesia yang kala itu tengah dilanda krisis moneter yang mencekik. Peluang untuk kembali mandapatkan hak sebagai pemilik harta tersebut sangat kecil. Namun, argumentasi Barat yang selalu mengatakan bahwa perang dunia I dan II adalah force majeur yang memungkinkan ketiadaan kewajiban pengembalian harta tersebut, ternyata patah oleh kekuatan diplomasi Bung Karno yang berhasil meyakinkan para petinggi Eropa dan Amerika bahwa, asset harta kekayaan yang diakuisisi oleh mereka itu adalah berasal dari Indonesia dan milik Rakyat Indonesia dengan fakta-fakta yang menunjukan bahwa ternyata ahli waris para pemilik harta tersebut masih hidup.

Nah, salah satu klausul dalam perjanjian The Green Hilton Agreement tersebut adalah membagi 50%-50% antara Indonesia dan Amerika dengan "bonus" cuma-cuma berupa satelit Palapa. Artinya, 50% dijadikan kolateral untuk membangun ekonomi Amerika serta beberapa Negara Eropa dan 50% lagi dijadikan sebagai kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan Negara manapun untuk menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun dengan biaya sewa pertahun sebesar 2.5% (Bung Karno menerapkan sistem zakat dalam Islam...) yang dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation (The HEF) dengan instrumentnya adalah lembaga-lembaga otoritas keuangan dunia (IMF, World Bank, The FED). Bisa dibayangkan, selama 41 tahun biaya sewa tersebut yang dibayarkan oleh Negara-negara peminjam sudah melebihi harta pokok penjamin (Hampir 99% Negara di dunia ini menggunakan harta kekayaan Rakyat Indonesia sebagai kolateral). Jika harta pokok yang dijadikan sebagai kolateral tersebut sejumlah 57.150 Ton emas, dengan asumsi 1 gram emas Rp. 250.000, coba hitung selama 41 tahun berapa biaya sewa yang musti dikeluarkan oleh 1 negara peminjam, hampir tidak ada kalkulator yang bisa menghitungnya ..

Mengenai keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia manapun yang dapat "menyentuh" rekening khusus ini, termasuk pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia, maka banyak para taipan kelas dunia yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini. Tercatat orang-orang seperti George Soros, Bill Gate, Donald Trump, Raja Yordan, Putra Mahkota Saudi Arabia adalah termasuk orang-orang yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus tersebut. Menurut cerita di lingkungan para tetua, hanya Bung Karno saja yang bisa mencairkan dana tersebut. Namun, Bung Karno adalah seorang yang futuristik. Tidak mungkin seorang futuristik sekaliber Bung Karno menggantungkan nasib Rakyat Indonesia pada perjanjian 41 tahun tersebut. Beliau pasti sudah menyiapkan second strategy sebagai antisipasi jika strategi A tidak berjalan mulus. Terbukti dalam perjalanannya, beberapa kali George Soros dengan dibantu ole CIA berusaha untuk membobol account khusus tersebut. Bahkan, masih menurut sumber yang bisa dipercaya, pada akhir 2008 lalu, George Soros pernah mensponsori sepasukan kecil yang terdiri dari CIA dan MOSSAD mengadakan investigasi rahasia dengan berkeliling di pulau Jawa demi untuk mendapatkan user account dan PIN The HEF tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline