Lihat ke Halaman Asli

Singkirkan Kerikil Dalam Transformasi BUMN

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 28 Desember 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta menterinya dalam Kabinet Indonesia Bersatu untuk tidak merangkap jabatan. Presiden juga meminta agar dalam 100 hari pertama pemerintahannya, para anggota kabinet melakukan gebrakan. Salah satunya adalah program 100 hari Kementerian BUMN yang antara lain melakukan seleksi dan pembaharauan manajemen BUMN. Untuk mengetahui kesungguhan program tersebut, ada contoh kasus menarik menyangkut Pertamina.
Beberapa waktu lalu, SK Komisaris Pertamina No. 005/KPTS/K/DK/2003 dan No. 006/KPTS/K/DK/2003 mengangkat Menkeu dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Penasihat Ahli Komisaris (PAK) Pertamina. Nampaknya, SK Komisaris Pertamina yang dikomandani Laksamana Sukardi (Menneg BUMN ketika itu) belum memahami perubahan struktur organisasi Pertamina.
Sesungguhnya, jika Menneg BUMN Sugiharto memahami transformasi Pertamina menjadi Persero, maka posisi Komisaris Utama pada era Laksamana, deputi BUMN sebagai komisaris dan 'organ' PAK tidak akan ada lagi.
Pasal 60 UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) mengamanatkan paling lama dua tahun [sejak 23 November 2001], Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Persero dengan PP. Impelementasinya, diterbitkan PP No.31/ 2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero yang berlaku sejak 18 Juni 2003 (PP Pertamina).
Artinya, sejak tanggal tersebut organisasi Pertamina tunduk pada peraturan mengenai Persero, yakni UU No.9/Prp/1969 dan peraturan pelaksanaannya PP No.12/1998 sebagaimana telah diubah dengan PP No.45/2001 tentang Persero (PP Persero).
Namun, esoknya (19 Juni 2003) UU No.19/2003 tentang BUMN diundangkan dan mencabut UU No.19/ Prp/1960 dan UU No.9/Prp/1969. Dengan demikian, Pertamina kini tunduk pada UU BUMN dan pelaksanaanya yakni PP Persero.
UU BUMN dan PP Persero menetapkan untuk Persero diberlakukan segala ketentuan dan prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas (PT) sebagaimana diatur UU No.1/ 1995 tentang Perseroan Terbatas. Konsekuensinya, organ Persero hanya terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris sebagai layaknya sebuah PT (tidak dikenal PAK).
Karenanya, SK yang pernah diteken Menneg BUMN sebelumnya selaku RUPS yang mengangkat dirinya selaku Preskom Pertamina dan deputi Menneg BUMN selaku komisaris Pertamina harus ditinjau ulang.
Selayaknya, Menneg BUMN Sugiharto tidak meneruskan 'tradisi' Menneg BUMN sebelumnya dengan menjabat komisaris utama Pertamina dan jangan lagi mengangkat deputi Menneg BUMN atau Dirjen di departemen menjadi komsiaris, termasuk pada BUMN lainnya.
Menertibkan BUMN
Kontroversi PAK yang mendapat honorarium hanya merupakan satu kasus yang berhasil diekspose ke publik dari sekian banyak peristiwa yang lebih dahsyat lagi dalam pengelolaan BUMN yang kacau balau.
Jika ditilik dari tugas kedua menteri selaku PAK merupakan tugasnya secara ex officio selaku menteri (tanpa diangkat sebagai PAK mereka harus melakukan tugas ini). Pantaskah para menteri tersebut memperoleh honorarium sebagai PAK karena menjalankan tugasnya selaku menteri di bidang terkait? Bukankah sebagai menteri sudah menerima gaji dari negara dengan berbagai fasilitasnya?
Ini merupakan benih sikap korup birokrasi dalam menjalankan tugasnya yang telah digaji oleh negara. Karenanya, Menneg BUMN, deputi BUMN, dan Dirjen harus mundur dari jabatan komisaris BUMN. Untuk Pertamina, PAK mesti dibubarkan.
Menneg BUMN, deputi Menneg BUMN/ Dirjen tidak boleh lagi bekerja part time selaku komisaris di berbagai BUMN yang terkait dengan tugas dan wewenangnya dengan menerima honorarium selaku komisaris BUMN terkait (selain gaji selaku Menneg BUMN, deputi Menneg BUMN/ dirjen yang mungkin jauh lebih kecil).
Hal ini dapat menyulitkan mereka mengambil keputusan netral yang menguntungkan iklim usaha yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat. Padahal, kita membutuhkan regulator yang memihak pada kepentingan iklim usaha yang sehat. Namun, sangat sulit untuk bertindak independen (mandiri) bagi regulator yang sekaligus menjadi pemain (komisaris).
Karenanya komisaris BUMN harus bekerja full time dan diisi oleh kalangan profesional di bidangnya. Semoga saja, amanat presiden kepada anggota kabinet dan program 100 Kementrian BUMN dapat dicapai dengan gebrakan, termasuk menertibkan para komisaris part time BUMN dari birokrat yang merangkap jabatan dan membubarkan PAK yang dapat menjadi benalu bagi terciptanya good corporate governance. Kita tunggu Pak Menteri!http://sulistionokertawacana.blogspot.com/2008/07/singkirkan-kerikil-dalam-transformasi.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline