Lihat ke Halaman Asli

Pertamina VS Karaha Bodas, Mengadili Persepsi Hukum di Indonesia?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik



Setelah melalui sengketa yang melelahkan, akhirnya Pertamina berniat membayar klaim Karaha Bodas Co. LLG (KBC) sebesar US$250 juta untuk memenuhi putusan Arbitrase Internasional (sebesar US$ 291 juta –pen) atas ditangguhkannya proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Karaha.

Namun, dua hari kemudian (13 Mei 2004), dua orang dari Pertamina (Priyanto selaku mantan Kepala Divisi Panas Bumi dan Syafei Sulaeman selaku mantan Kepala Subdirektorat Panas Bumi) dan Robert Mc Kitchen (warga negara AS) selaku Vice President KBC dijadikan tersangka kasus korupsi proyek PLTP Karaha.

Proyek PLTP Karaha merupakan proyek pengembangan listrik tenaga panas bumi 400 Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November 1994. Yaitu (i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC (berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi) dan (ii) Energy Sales Contract antara antara Pertamina, KBC, dan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.

Namun, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF), pada 20 September 1997 presiden melalui Keppres No.39/1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN.

Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Kepres No.47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No.5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali di tangguhkan.

Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No.15/2002, berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP Karaha dari Ditangguhkan Menjadi Diteruskan.
Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek PLTP Karaha bukan kehendak Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan pemerintah.

Bahkan, kebijakan pemerintah pun dilatarbelakangi rekomendasi International Monetary Fund (IMF) yang dibuktikan dengan Letter of Intent Pemerintah RI kepada IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi. Tentu saja, krisis itu sendiri (dan sudah diakui internasional) bukan kehendak pemerintah.

Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI. Apalagi Pertamina.
Dihentikannya suatu kontrak oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).

Titik tolak yang membedakan keduanya adalah kehendak membatalkan kontraknya. Jika niat mengakhiri kontrak merupakan kehendak bebas salah satu pihak, maka ia wanprestasi. Sedangkan, jika kegagalan salah satu pihak memenuhi prestasi dalam kontrak disebabkan situasi di luar kontrol salah satu pihak, sehingga dalam keadaan terpaksa dan kejadiannya tidak dapat diprediksikan, disebut force majeure.

Keadaan yang terkategori dalam force majeur (diantaranya) kebijakan pemerintah/peraturan, bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, kerusuhan, dan pemberontakan bersenjata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline