Lihat ke Halaman Asli

Perang Urat Syaraf

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perang urat syaraf (Psy war) diantara kelompok pendukung bakal Capres-Cawapres, kian seru usai Pileg  pada 9 April lalu. Kelompok pendukung itu bervariasi, terdiri dari Tim Sukses resmi yang mendapatkan dukungan penuh dana dari bakal calon hingga simpatisan sukarela yang motivasinya hanya ingin idolanya jadi pemenang di pertarungan memperebutkan kursi orang nomer 1 dan nomer 2 saja. Saat ini, perang urat syaraf yang menonjol adalah dari kubu Prabowo dan kubu Jokowi. Masing-masing pihak gesit beradu propaganda.

Kegiatan propaganda yang bertujuan untuk memengaruhi emosi, perilaku, pendapat dan keputusan lawan politik maupun para simpatisannya ini mendapatkan fasilitas luas di jejaring sosial, seperti Facebook, blog, twitter hingga dot com. Media gratisan ini menjadi ajang perang urat syaraf. Kalimat sopan, fitnah, omong kosong, hinaan, puja-puji menjadi suguhan gratis penikmat media sosial. Masing-masing pihak berusaha untuk menjatuhkan pamor lawan politiknya.

Saya pribadi terkadang miris membaca komentar-komentarnya. Saat menulis, tidakkah mereka berkaca pada diri sendiri. Memang mencaci, mencela itu hal yang paling gampang. Melihat kesalahan orang lain lebih mudah daripada kesalahan dirinya sendiri. Ibarat pepatah, “Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang lautan malah terlihat jelas.” Tentu, ini memprihatinkan karena kalimat atau pilihan kata yang kita tulis sebenarnya merupakan cermin dari kepribadian. Sebagai contoh, tidak mungkin kalimat makian, kata-kata kasar muncul dari pribadi yang dalam kesehariannya memang santun. Kampanye hitam ini bisa jadi hanya ide dari segelintiran simpatisan fanatiknya. Tapi, sadarkah mereka bahwa ulahnya itu justru bisa berimbas negatif bagi citra idolanya.

Beragam propaganda itu sebenarnya bertujuan untuk memengaruhi orang agar memilih figur politik yang diusungnya. Cara propagandanya saja yang berbeda. Ada yang masuk kategori white propaganda ataupun black propaganda yang populer dengan sebutan black champaign (kampanye hitam). Bila propaganda putih berupaya menyampaikan pesan jagoannya dengan informasi obyektif, jujur, sportif dan mengedepankan kelebihan prestasi jagoannya untuk memengaruhi orang lain, sebaliknya propaganda hitam dalam pesannya sarat dengan fitnah, informasi palsu dan menghalalkan segala cara untuk menyukseskan misinya.

Psy war ini memang lazim dalam setiap kampanye politik. Tetapi, pada akhirnya rakyat pula yang bakal menjadi juri paling adil dalam pilpres nanti. Kalau para ekonom menyebutkan mekanisme pasar adalah jawaban paling jujur dari kesukaan atau ketidaksukaan para pelaku ekonomi terhadap situasi sosial dan politik yang sedang terjadi. Seorang pemimpin yang dianggap bakal memberikan kebijakan kondusif bagi pelaku ekonomi akan dijawab melalui indikator kenaikan IHSG, penguatan rupiah dan meningkatnya foreign direct investment atau kesediaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Kita mungkin kesal kenapa para penguasa uang itu mengatur siapa-siapa pemimpin yang disukainya. Kenapa rakyat tidak berdaulat? Inilah kenyataan hidup didunia, uang memegang kendali. Suka atau tidak suka, merekalah yang bisa membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja, membuat kesejahteraan rakyat lebih baik atau bahkan rakyat lebih miskin. Sebagai pemilik uang, mereka ingin pemimpin yang kooperatif. Ini hal yang wajar. Pemimpin yang bisa diajak bekerjasama atau kooperatif tidak selalu berarti dibawah kendali  atau jadi anteknya dia. Pemimpin yang baik harus bisa memahami berbagai kepentingan orang/kelompok, tetapi pertimbangan utama adalah tetap kepentingan atau yang terbaik untuk Rakyatnya. Dia sebaiknya sosok yang bisa diterima oleh mayoritas orang agar dalam menjalankan pengabdiannya lebih mudah. Ini pendapat saya, boleh saja sahabat tidak setuju.

Pilihan Rakyat

Siapapun pemimpin pilihan rakyat nanti, apakah itu sang jenderal Prabowo, sang pengusaha Joko Widodo atau Aburizal Bakrie, kita harus legowo karena itulah demokrasi. Berbeda pendapat boleh saja, tetapi bila keputusan sudah diambil oleh rakyat, ya kita wajib menghormatinya.

Sebagai orang yang tidak menjadi Timses siapapun dan masih memilah-milah informasi, saya memiliki sejumlah kriteria untuk pemimpin yang bakal saya pilih. Pertama, Takut Tuhan. Kalau sama Tuhan takut, pasti dia jujur, tidak akan korupsi atau menganiaya rakyatnya karena jabatan hanyalah sarana pengabdian/ibadah untuk mendapatkan tabungan kebaikan. Indikatornya, antara lain jika dia muslim menunaikan ibadah sholat 5 waktu, baik ada kamera/wartawan ataupun tidak (bukan pencitraan). Bila perintah sholat 5 waktu yang diwajibkan sang pencipta saja berani dilanggar, apalagi janji kepada manusia.

Kedua, tidak punya catatan kriminal di masa lalu. Kalau bekas preman, koruptor atau pemerkosa pasti saya tidak bakal memilihnya.

Ketiga, pekerja keras dan merakyat. Pemimpin yang pemalas tentu tidak akan bisa membuat negerinya berjaya dan memotivasi rakyatnya untuk menjadi bangsa besar. Selain itu, pemimpin adalah bapaknya rakyat. Karena itu, dia harus sosok yang tidak eksklusif, tidak “jaim” dan pandai menempatkan diri kepada rakyatnya.

Keempat, pribadi yang sederhana. Meski  uangnya tidak berseri sekalipun, dia harus memberikan contoh kesederhanaan karena rakyat Indonesia masih banyak yang kere. Tidak akan masuk syurga, seorang pemimpin yang foya-foya, sementara masih ada rakyatnya yang makan nasi aking.

Kelima, pemberani dan tegas. Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko tidak populer saat mengambil keputusan, kalau keputusannya itu memang diyakininya baik untuk rakyat. Dia juga orang yang tegas, berani berkata tidak, meski risikonya mengecewakan seseorang atau kelompok tertentu. Dia pemimpin rakyat Indonesia, bukan bos kelompok tertentu atau keluarganya.

Keenam, memiliki ketrampilan leadership atau jiwa kepemimpinan. Pemimpin tidak perlu genius atau sangat pintar, tetapi dia mampu memimpin orang-orang pintar agar mau bekerja untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dia memiliki kharisma pemimpin. Biasanya, orang seperti ini gampang memiliki pengikut karena pandai memengaruhi orang.

Ketujuh, tidak banyak utang. Takut, saat dia sedang pidato, ditungguin debt collector :). Atau jangan-jangan, pengin jadi pemimpin supaya bisa bayar utangnya sehingga sibuk mikir diri sendiri daripada mikir negara.

Saya menemukan tujuh kriteria itu. Barangkali, sahabat Kompasiana ingin menambahkan kriteria lainnya, monggo saja.  Yang pasti, tulisan saya ini tidak bertujuan untuk propaganda apalagi menabuh genderang Psy war. Ini hanya sekedar share yang mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan bagi pembaca. Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline