[caption id="attachment_363283" align="aligncenter" width="314" caption="Cover novel A Girl Who Loves A Ghost (Gambar. Dok. Javanica)."][/caption]
Judul : A Girl who Loves a Ghost
Pengarang: Alexia Chen
Penyunting : Shalahuddin Gh
Pemindai Aksara : Muhammad Bagus SM
Sampul : Iksaka Banu
Cetakan : 1, November 2014
Tebal: 551 hlm
Penerbit : Javanica
A Girl Who Gost Love berkisah tentang gadis blasteran Indonesia-Amerika yang ‘berstatus’ jomblo dan memiliki bakat indigo. Ia bernama Aleeta Jones atau biasa dipanggil Aleeta. Aleeta mewarisi bakat indigo dari neneknya, Qi Yue. Orang-orang indigo memiliki bakat-bakat tertentu. Ada yang berbakat dalam berbahasa seperti Satrio Wibowo (penulis The Chronicles of Willy Flarkies ) yang langsung bisa berbahasa Inggris. Ada yang berbakat seni lukis atau meramal masa depan. Sedangkan orang-orang indigo yang ‘sejenis’ Aleeta, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan roh dan lazim disebut cenayang.
Mulanya, bakat ‘cenayang’ tersebut belum berfungsi maksimal. Tampaknya, hal itu disebabkan Aleeta belum bisa menerima ‘kelebihan’ yang dimilikinya. Ia pun cenderung menghindari kawasan-kawasan yang memiliki gelombang magis. Hingga suatu hari, Aleeta membaca artikel pembunuhan putra pengusaha besar bernama Nakano Yuto. Sebelum terbunuh, Nakano Yuto (Yuto) bekerja sebagai direktur pemasaran ekspor-impor alat berat. Baik semasa hidup ataupun setelah mati, Yuto masih berstatus jomblo. Aleeta mendoakan agar Yuto bisa beristirahat dengan tenang dan diterima di sisi Yang Mahakuasa. Gadis yang sering dipanggil ‘bule’ ini tidak menyadari, doanya memantulkan gelombang kuat yang menarik roh Yuto dan mengubah kehidupannya.
[caption id="attachment_363284" align="aligncenter" width="560" caption="Young Girl and A Ghost (Gambar. Dok. www.windows8-wallpapers.org)."] [/caption]
Sejak berjumpa dengan Nakano Yuto; hidup Aleeta yang biasa-biasa saja, tidak istimewa, dan tidak ada sesuatu yang dibanggakan (hal. 11) sebagaimana yang dikeluhkannya; mengalami perubahan besar. Aleeta menemukan cinta, petualangan, pengorbanan, perpisahan, dan juga pembebasan.
Novel A Girl Who Loves A Ghost (Foto. Dok. Sulfiza Ariska).
Dari biografi singkat (hal 551) telah dipaparkan bahwa Alexia Chen berharap ‘tulisannya mampu menghibur banyak orang’. Dengan demikian, secara tidak langsung, pengarang ‘menegaskan’ bahwa karyanya bergenre pop-lit. Novel bergenre ‘pop-lit’ memang bertujuan untuk ‘menghibur’. Bahkan, bila novel bergenre ‘pop-lit’ diterjemahkan; struktur orijinalitas, ejaan, ataupun logika antarteks (paragraf/bab); ‘tidak begitu perlu’ dipertahankan.
[caption id="attachment_363290" align="aligncenter" width="200" caption="Alexia Chen (Foto. Dok. Goodreads)."]
[/caption]
Sebagai novel genre ‘pop-lit’, kita memang sebaiknya tidak memiliki ekspektasi besar pada novel A Girl Who Loves A Gost. Karena pada dasarnya, tujuan novel ini ditulis, telah tercapai, yaitu menghibur pembaca.Meskipun demikian, karakter dan plot yang diciptakan pengarang telah maksimal. Novel setebal 551 halaman cenderung tidak membosankan. Selalu ada adegan dan teka-teki baru yang menanti pembaca untuk dipecahkan. Bila pengarang memperkuat unsur ‘ruang imajiner’ dalam, novel A Gil Who Loves A Gost akan lebih sempurna.
[caption id="attachment_363293" align="aligncenter" width="504" caption="Origami bangau dalam Festival Budaya Jepang Universitas Gadjah Mada tahun 2013. Dalam kepercayaan Jepang, siapapun yang melipat kertas-kertas menjadi seribu bangau maka satu permohonannya akan dikabulkan. (Foto. Dok. Sulfiza Ariska)."]
[/caption]
Lebih dekat lagi, faktor budaya yang menjadi "ruang imajiner" A Girl Who Loves A Ghost, belum tergali secara maksimal. Misalnya, konsep Jepang pada keluarga Nakano Yuo cenderung hanya sebatas ‘nama Jepang’, sedangkan budaya Jepang seperti origami (seni melipat kertas), tradisi minum teh (chanoyu/ocha), tradisi merangkai bunga (ikebana), dan masih banyak lagi; nyaris tidak terlihat secara representatif, untuk mengenalkan pembaca pada ‘ruang imajiner’ yang dibentangkan narasi di tangan pengarang. Demikian pula 'ruang imajiner' keluarga Aleeta Jones. Baik budaya Indonesia, Amerika, ataupun Tiongkok dalam keluarga Aleeta Jones; belum dimanfaatkan pengarang secara maksimal dalam membangun "ruang imajiner" cerita.
[caption id="attachment_363296" align="aligncenter" width="504" caption="Bendera Jepang dan Bendera Indonesia (Foto. Dok. Sulfiza Ariska)."]
[/caption]
[caption id="attachment_363300" align="aligncenter" width="454" caption="Sebuah lukisan Jepang dalam Festival Budaya Jepang di Universitas Gadjah Mada (Foto. Dok. Sulfiza Ariska)."]
[/caption]
[caption id="attachment_363301" align="aligncenter" width="454" caption="Koinobori dalam Festival Budaya Jepang Universitas Gadjah Mada. (Foto. Dok. Sulfiza Ariska)."]
[/caption]
Selain budaya, relasi budaya dan geografi yang menjadi setting cerita, tampaknya belum dimanfaatkan pengarang dalam membangun ‘ruang imajiner’. Jakarta, Semarang, dan Bandung; yang menjadi setting (latar tempat) cenderung masih sekadar nama daerah.
Bila Alexia Chen memanfaatkan potensi "ruang imajiner" secara maksimal, narasi dan karakter akan memiliki otot yang lebih kuat.
[caption id="attachment_363302" align="aligncenter" width="490" caption="Novel A Girl Who Loves A Ghost (Foto. Dok. Sulfiza Ariska)."]
[/caption]
Meskipun Alexia Chen meniatkan novel ini sebagai pop-lit, ‘kematian’ Nakano Yuto sangat unik. Umumnya, kematian merupakan akhir sebuah kisah. Tapi, dalam A Girl Who Loves A Ghost, kematian merupakan langkah awal dari pencarian kebenaran.
Melalui A Girl Who Loves A Ghost, Alexia Chen telah menghadirkan sebuah kematian yang indah. Meskipun orang yang kita cintai telah mati, itu tidak berarti cinta akan terhenti. Orang yang saling mencintai tidak akan pernah ditaklukkan kematian. Kebencian bisa berakhir dengan adanya kematian, tapi tidak demikian dengan cinta. Karena cinta melampaui kematian.
Untuk elemen kemasan, novel A Girl Who Loves A Gost sudah cukup prima. Cover yang eyecathcing dan kertas lumayan bagus. Bila disimpan dengan baik, terjaga dari debu dan sinar matahari secara langsung, buku ini akan awet melebihi dua dekade. Tapi perlu diperhatikan, beberapa halaman hilang pada sebagian cetakan pertama novel ini. Akibatnya, ada bagian alur dan narasi yang tidak bisa dibaca. Semoga, pada cetakan berikutnya, halaman lebih utuh agar seluruh narasi dapat dibaca secara sempurna.