Lihat ke Halaman Asli

Kisah Ahmad Ali, Politisi Keturunan Terjun ke Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13920341511657801427

Terjun ke dunia politik adalah hal yang paling ditentang ayahnya  Haji Sun  pria keturunan Tiongkok, Cina

[caption id="attachment_294824" align="alignnone" width="622" caption="Foto : Ahmad Ali mencium tangan Hj Rohanijah pengasuh panti asuhan di Luwuk, isteri almarhum Rusdi Toana mantan Rektor Unismuh Palu yang juga paman Isterinya Nilam Sari Lawira. "][/caption]

“Ingat, kamu anak dari orang keturunan, cukuplah jadi pengusaha, tidak usah terjun ke politik,” kenang Ahmad Ali mengutip nasehat ayahnya itu ketika akan terjun ke politik sebagai anggota DPRD Morowali periode 2009-2014. Tidak puas dengan saran ayahnya itu, Ia meminta nasehat ibunya Almarhum Haja Sya’diah.

“Nasehatnya sederhana, cukup jadilah orang yang berguna bagi orang lain, bila di politik itu kamu bisa berguna bagi orang banyak, lakukanlah”  urai pria yang akrab disapa Mat Sun mengutip nasehat ibunya yang sederhana tapi memiliki makna yang luas. Nasehat almarhum ibunya itulah yang memacu dirinya terjun ke politik karena menurutnya nasehat seorang ibu lebih bertuah dari nasehat ayah.

Waktu itu, pemilu tahun 2009, bersama Partai Patriot Pancasila, Ia maju sebagai anggota DPRD Morowali dan terpilih. Dalam perjalanan politik sebagai anggota DPRD itu pada tahun pertama dan kedua ia masih bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat melalui peraturan daerah yang mereka rancang. Bahkan, seluruh gajinya sebagai anggota DPRD Rp 10 juta setiap bulannya Ia bagi kepada pembangunan rumah ibadah, honor imam masjid dan pegawai syara yang berada di daerah pemilihannya.

Memasuki tahun ke-tiga di DPRD Morowali. Suami Nilam Sari Lawira itu mulai gerah menghadapi sikap dan sifat politisi lainnya yang tidak lagi berpihak pada masyarakat. “Di DPRD itu yang hitam bisa mereka jadikan putih, tergantung kesepakatan bersama, akhirnya banyak hak-hak rakyat yang dikorbankan, semua berpikir untuk kepentingan pribadi dan golongannya” kenang Ahmad Ali yang saat itu tidak berdaya melawan politisi lain karena partai tempat bernaung hanya memperoleh dua kursi.

“Dengan dua kursi itu apa yang bisa kita buat selain pasrah, karena keputusan diambil oleh  mayoritas partai yang menguasai kursi,” kenangnya saat bersilaturahmi bersama  masyarakat Desa Marowo, Kecamatan Ulubongka, Tojo Una-Una. Karena merasa tidak lagi bisa berbuat banyak di DPRD untuk kepentingan masyarakat pada tahun 2012 Ia mengajukan permohonan pengunduran diri dari DPRD.

Namun, hingga akhir 2013 Ketua DPRD dan Sekretaris Dewan Morowali tidak cepat merespon pengunduran dirinya karena masyarakat masih ingin mengambil gajinya untuk honor imam masjid, pagawai syara.

“Waktu itu ketua dewan dan sekwan tidak bisa proses cepat pengunduran beliau (Ahmad Ali) untuk di Pengganti Antar Waktu (PAW) karena desakan masyarakat menolak secepatnya di PAW karena masyarakat masih  ingin mengambil gaji beliau untuk pembangunan rumah ibadah dan honor imam masjid,” kata salah satu rekannya di DPRD Morowali, Taslim beberapa waktu lalu.

[caption id="attachment_294825" align="alignnone" width="223" caption="Ahmad Ali alias Mat Sun"]

1392034475800729767

[/caption]

Sebelum menjadi menjadi anggota DPRD dari Partai Patriot Pancasila, Ahmad Ali sempat menjadi pengurus Partai Golkar Morowali sebagai bendahara umum. Namun karena sistem politik primodial yang diterapkan Golkar Sulteng kala itu Ia ‘memberontak’ memilih mundur dari Golkar bersama ratusan  pendukungnya.

Kini, Ahmad Ali yang dipercayakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) NasDem Surya Paloh sebagai Ketua DPW NasDem Sulteng pada  Juli 2013 lalu diamanatkan DPP maju sebagai Caleg DPR-RI Dapil Sulteng Nomor Urut Satu dari Partai NasDem.

Pesan sederhana dari ibunya yang jadi pegangan hidupnya itulah yang mendorong Ahmad Ali kembali terjun ke politik, tidak ada kata berhenti untuk berbuat lebih baik demi kesejahteraan masyarakat Sulteng yang lebih luas.

Indonesia khususnya Sulteng yang sepanjang sejarah kepemipinan di kuasai politisi yang menganut faham primodial yang membuat daerah itu jauh tertinggal dengan daerah lainnya di kawasan timur Indonesia butuh wakil-wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin revolusioner yang dalam kesunyiannya mereka telah memberi yang terbaik pada masyarakatnya.(***)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline