Lihat ke Halaman Asli

Budaya dan Kekerasan terhadap Anak di Sekolah

Diperbarui: 18 April 2017   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peumulia jamee (memuliakan tamu) dalam kehidupan masyarakat Aceh selalu dipraktekkan sejak zaman dahulu sampai sekarang. Tamu sangat dihormati dan diperlakukan dengan baik. Setiap kedatangan tamu akan disambut dengan sopan, santun dan keramahan. Dengan senang hati dan ikhlas akan dijamu. Jangankan nasi, bibit padipun boleh dimakan. Tamu adalah raja, memuliakan tamu merupakan kewajiban.

Peumuliajamee memiliki dimensi hubungan kemanusian dan keagamaan,hukôm ngon adat lagee zat ngon sifeut, syih han jeut meupisah dua(hukum dengan adat seperti zat dengan sifat, tidak dapat dipisahkan). Di Aceh, agama dan adat merupakan dua aspek penting dalam penataan sosial: “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” (Sufi &Wibowo, 2004: 88). Menurut Abdullah (2007: 2-3) adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai Islam. Peumulia jamee merupakan tatakrama hubungan sosial yang dilandasi nilai agama yaitu tidaklah beriman seseorang kamu sebelum mencintai saudaramu sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, termasuk ajaran bahwa umat harus bersatu, tidak bercerai berai.

Satu pepatah mengatakan: Mulia wareh ranub lampuan. Mulia rakan mameh suara. Adat tajunjong hukom peutimang. Kanun ngon reusam wajeb tajaga (memuliakan keluarga kita beri sirih dalam talam, memuliakan kawan dengan suara yang manis. Adat kita junjung hukum kita pertimbangkan. Peraturan dan kebiasaan wajib kita jaga).

Superorganic

Cultural-determinism versi Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi atau disebut superorganic.

Peumulia jamee merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama masyarakat dan diwariskan turun-temurun. Ada menyebut, peumulia jamee telah diwariskan secara genetis, sejak anak dilahirkan. Dalam keluarga, masyarakat dan ruang kehidupan, praktek peumulia jamee ditanamkan untuk membentukpola perilaku setiap anak oleh orang tua, keluarga, guru dan masyarakat. Budaya peumulia jamee tidak dipelajari tekstual, tapi sebagai praktek kehidupan yang dikembangkan dan dirasakan setiap orang di Aceh, sehingga telah menjadi pola hidup kolektif, bahkan dianggap sebagai ciri dan ukuran martabat seseorang.

Penanaman nilai-nilai moral dan budaya kepada anak seperti sopan santun (an yua’ddabahu ta’diban hasanan)ketika menerima tamu menjadi bagian yang senantiasa dilakukan. Orang tua atau orang dewasa mempraktekkan perilaku tersebut. Anak-anak diberitahukan cara-cara melakukan kebaikan (moral behaviour) kepada setiap tamu dan menasehati anak jika perilakunya dianggap kurang baik.

Penyalahgunaan kekuasaan

Praktek keliru dalam konteks peumulia jamee, harus diakui terjadi secara sembarang dan berulang yang dilakukan oleh guru ketika team PKPA yang dianggap jemee(tamu) datang ke sekolah untuk melakukan dukungan psikososial kepada anak-anak pasca gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Guru kelas yang menganggap diri berkuasa mencubit pinggang atau pundak anak-anak yang dianggap tidak tertib sambil berkata: bek sampe malee ikeue jamee(jangan buat malu kepada tamu).

Ekspresi kekerasan fisik dan verbal untuk menertibkan secara mudah dan cepat merupakan tindakan agresi dan penyerangan terhadap kebebasan atau martabat anak, karena anak yang dicubit menangis menahan rasa sakit dan kemudian duduk terpisah dari teman-temannya. Kejadian tersebut diperhatikan anak didik lain dan beberapa orang berusaha menenangkan anak didik yang dicubit, disamping ada anak didik lain melakukan bullying, dengan mengatakan si anak yang dicubit memang batat; bandel, nakal dan sulit diatur.

Setelah kegiatan, terjadi bully-victims, anak yang merasa dibully menjadi pelaku bullying, membalas dengan menendang dan lari. Perilaku saling membully di kalangan anak tersebut, yang dimulai dari praktek guru melakukan kekerasan terhadap anak di hadapan temannya, menyebabkan suasana emosi anak di lingkungan pendidikan kurang kondusif. Anak memiliki persepsi negatif terhadap guru. Mereka menyebut guru tukang cubit. Hal kurang baik dalam pola relasi dan kohesi pendidik-anak didik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline