Perkembangan SDGs di bidang energi di Indonesia mengalami kendala di mana persentase penggunaan energi bersih terbarukan (EBT) di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 13,09% pada tahun 2023 (Paramita & Pranchiska, 2024). Tingginya penggunaan energi non-renewable seperti minyak dan batubara dapat memperburuk kondisi udara di Indonesia.
Berdasarkan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), penyumbang polusi udara terbesar berasal dari sektor transportasi sebesar 44 persen kemudian sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial sebesar 1 persen (Santoso, 2023).
Hal ini diperkuat dengan jumlah kendaraan bermotor hingga bulan Februari 2024 menurut Korlantas Polri sebanyak 160.652.675 unit yang sebagian besar masih menggunakan BBM yang tidak terbarukan. Kendaraan berbasis listrik (KBL) yang ditawarkan pemerintah sebagai salah satu solusi pengurang emisi karbon belum dapat menarik minat masyarakat Indonesia. Faktor-faktor seperti tempat pengisian daya yang masih sedikit, durasi pengisian daya yang lama, dan suku cadang yang langka membuat KBL masih jarang digunakan oleh masyarakat hingga saat ini.
KBL tidak sepenuhnya bebas dari emisi karena proses produksi listrik dari PLTU tetap menggunakan bahan baku yang tidak terbarukan. Pembuatan baterai masih menggunakan bahan tambang seperti lithium, nikel, dan lain-lain. Pembuangan tanpa pengolahan limbah baterai bekas yang merupakan limbah B3 juga dapat merusak lingkungan di sekitarnya (Nur & Kurniawan, 2021). Pemerintah perlu melihat potensi BBN sebagai solusi lain untuk mengatasi permasalahan emisi gas rumah kaca (GRK).
Bahan bakar nabati atau BBN adalah semua bahan bakar yang terbuat dari minyak nabati seperti bio-oil, biodiesel, dan bioetanol (Prastowo, 2007). Minyak nabati sendiri dapat diperoleh dari berbagai jenis tanaman seperti sawit, bunga matahari, jarak pagar, dan lain-lain. Indonesia telah menjadi penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di dunia sejak tahun 2006.
Jumlah produksi CPO tertinggi dicapai pada tahun 2020, yaitu sebanyak 48,3 juta ton sedangkan jumlah ekspor tertinggi dicapai tahun 2019, yakni 30,22 juta ton. Angka ini akan semakin bertambah setiap tahunnya yang menandakan bahwa ketersediaan bahan baku pembuatan bahan bakar nabati masih melimpah (Wardianingsih & Wibowo, 2022).
Jika dibandingkan dengan BBM, BBN memiliki kelebihan seperti dapat diperbarui dan dapat mengurangi efek rumah kaca, mudah terdegradasi, dan ketersediaan bahan bakunya melimpah. Biodiesel sebagai salah satu BBN memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan minyak solar biasa, seperti ramah lingkungan, terurai dengan mudah, tidak memproduksi emisi sulfur, pembakarannya lebih sempurna karena angka setana yang lebih tinggi, dan sebagainya (Lubad & Widiastuti, 2010).
Penerapan BBN sebagai solusi pengurangan emisi juga mendapat tantangan, salah satunya viskositas minyak nabati yang lebih besar 20 kali lipat daripada bahan bakar fosil sehingga dapat menurunkan kinerja mesin karena proses atomisasi yang kurang baik (Devita, 2015).
Harga BBN yang relatif lebih mahal dari BBM konvensional juga membuat masyarakat masih enggan untuk beralih ke BBN. Oleh karena itu, dukungan pemerintah dan stakeholder sangat dibutuhkan untuk mengembangkan bahan bakar nabati agar masyarakat mau beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sehingga tujuan SDGs ke-7, yaitu energi bersih dan terjangkau dapat tercapai.
Referensi
Adji, E.W. (2024, 6 Maret). Inilah Jumlah Kendaraan Di Indonesia Dua Bulan Pertama 202. Diakses pada 5 Juni, 2024, dari https://otodriver.com/amp/berita/2024/inilah-jumlah-kendaraan-di-indonesia-dua-bulan-pertama-2024-iniddjba024 .