Lihat ke Halaman Asli

Suksma Ratri

Senior Communication Officer and Gender Focal Point - Solidaridad Network Indonesia

Tantangan Pendampingan bagi Korban KDRT

Diperbarui: 17 Oktober 2022   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: dokumentasi koleksi Solidaridad Indonesia

Belum lama ini jagad maya dihebohkan dengan kasus KDRT yang menimpa salah seorang pesohor muda. Dukungan bertubi-tubi pun dilontarkan kepada si perempuan, sementara hujatan dilemparkan kepada si lelaki. 

Bentuk dukungan pun ada berbagai bentuk, dari mulai pemecatan si lelaki dari sebuah stasiun TV, hingga boikot pekerjaan. Si perempuan melayangkan laporan kepada pihak berwajib dan si lelaki pun menerima panggilan untuk pemeriksaan tindak kejahatan penganiayaan.

Setelah proses tarik-ulur yang lumayan alot, tiba-tiba si perempuan dikabarkan mencabut laporannya, bahkan kemudian disinyalir juga dipecat dari sebuah program TV yang selama ini telah membesarkan namanya. 

Alasannya adalah, dengan dicabutnya laporan tersebut, si perempuan dianggap bisa melanggengkan tindakan KDRT dan ditakutkan akan membuat para pelaku KDRT semakin bebas sementara para korban semakin ragu ketika hendak melakukan pelaporan. 

Dukungan terhadap si perempuan pun berbalik arah menjadi pernyataan-pernyataan yang beraroma kekecewaan. Si perempuan yang sebelumnya dianggap pemberani, kini dihujat dan disebut "labil". Publik yang tadinya mengelu-elukan si perempuan atas keberanian tindakannya, kini kesal dan kecewa serta menganggapnya lemah hati terhadap si lelaki yang berwajah ganteng tersebut. 

Kasus ini adalah contoh klasik bagaimana rumitnya proses pendampingan untuk korban KDRT. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para pendamping kasus KDRT ketika korban berubah pikiran. 

Mungkin memang sedikit mengecewakan, namun kita tidak pernah benar-benar tahu, bagaimana proses negosiasi yang dijalani oleh pihak perempuan hingga akhirnya membuahkan keputusan untuk rujuk dan mencabut laporannya. Bisa saja mereka rujuk dengan sederet syarat dan ketentuan yang diberikan oleh pihak perempuan, yang kemudian akan menempatkan si perempuan pada posisi tawar yang jauh lebih baik. 

Atau bisa juga memang si perempuan menganggap kejadian pelaporan dan segala sesuatu yang mengikutinya telah dirasa cukup memberikan efek kejut bagi si lelaki. Teori lainnya adalah untuk menyelamatkan unit bisnis mereka, di mana keduanya telah menerima banyak perjanjian endorsement yang cukup mengikat dan jika dilanggar akan merugikan mereka.

Di banyak kasus, korban KDRT sulit melepaskan diri dari cengkeraman pelaku karena tidak memiliki kemandirian finansial sehingga merasa takut hidup sendiri, dan memilih tetap berada dalam lingkaran kekerasan demi jaminan ekonomi. 

Namun, pada kasus pesohor ini aspek tersebut tidak berlaku mengingat di perempuan memiliki penghasilan yang lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Justru si lelaki lah yang disinyalir lebih takut kehilangan sandaran ekonominya. Kesulitan para korban tanpa kemandirian finansial untuk melepaskan diri dari pelaku KDRT merupakan tantangan klasik yang dihadapi para pendamping. 

Di mana keinginan untuk bebas sudah ada, namun korban tidak memiliki keberanian. Untuk kasus si pesohor ini, tantangan yang dihadapi pendamping sudah tentu berbeda karena aspek ekonomi bagi si perempuan tidak ada. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline