Sawit berada dalam "love-hate situation". Dibenci, namun dibutuhkan.
Saya ingat beberapa tahun yang lalu sebuah partai menggaungkan tagar 'sawit baik' untuk membela beberapa pengusaha sawit yang dinilai cukup humanis, dan sebagai counter attack untuk kebijakan anti sawit. Saya dan beberapa kawan akhirnya berpikir, jika ada "sawit baik" apakah ini tandanya ada "sawit jahat" juga? Ternyata iya. Ada.
Karena ada cukup banyak orang yang mengatakan bahwa kelapa sawit adalah "tanaman jahat". Tapi yang jelas, sebagai seseorang yang bekerja di lembaga non-pemerintah yang menjalankan program pemberdayaan petani mandiri, termasuk untuk petani sawit, saya sendiri sering merasa jengah dengan segala sesuatu terkait sawit yang selalu dianggap buruk.
Tidak semua hal harus bersifat hitam-putih, dan baik-jahat. Sesuatu yang dianggap jahat atau buruk seringkali hanya karena kita tidak tahu cara menanganinya dengan tepat. Atau mungkin karena dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Ketika menerima kabar bahwa saya diterima untuk bekerja di Solidaridad Indonesia tahun 2015 silam, saya sempat sedikit ragu karena ternyata lembaga nirlaba yang menangani pemberdayaan petani mandiri ini memasukkan petani kelapa sawit sebagai penerima manfaat dan target kerjanya.
Berkawan dengan cukup banyak aktivis lingkungan hidup dan pelestarian alam, saya sempat menjadi bulan-bulanan mereka, dan digoda terus menerus karena menerima tawaran kerja di lembaga yang mereka anggap pro-sawit. Sampai ketika akhirnya saya berkunjung ke lapangan di Kalimantan Barat, dan berbincang dengan para petani mandiri yang menjadi dampingan Solidaridad, saya menemukan berbagai hal yang selama ini tidak saya ketahui dengan pasti tentang dunia persawitan ini.
Di balik tanaman yang dicaci maki dan dihina secara terus menerus ini, ada manusia-manusia yang kehidupan dan penghidupannya sangat tergantung pada keberadaan tanaman ini. Ada perempuan-perempuan yang menggantung harapannya dari hasil penjualan sawit. Ada anak-anak yang kelanjutan sekolah dan pendidikannya juga tergantung pada berhasil atau tidaknya tandan buah sawit di kebun orang tua mereka terjual.
Jika kita bicara soal perusakan lingkungan, kebakaran hutan, dan penganiayaan hewan yang seringkali terkait erat dengan keberadaan kebun sawit, memang sebagian besar benar adanya. Namun jika kita mau menggali lebih dalam lagi hingga ke akar masalahnya, kita akan bisa mengetahui banyak faktor yang menjadi penyebab.
Rata-rata petani sawit mandiri yang saya temui mendapatkan ilmu bercocok tanam sawitnya secara otodidak. Artinya, tak ada teori yang pasti tentang kalkulasi yang tepat untuk pemupukan, tidak ada yang mengetahui dengan jelas bagaimana bertanam sawit secara ideal. Penggunaan pupuk kimia yang tinggi dengan dosis yang berlebihan, sudah tentu akan mengakibatkan kerusakan pada tanah. Ini adalah sebuah keniscayaan.
Ketidaktahuan mereka bahwa akar tanaman sawit akan menyerap sangat banyak air tanah, juga membuat para petani ini tidak memperhitungkan jarak tanam yang tepat, baik antar tanaman maupun jarak dengan rumah tinggal atau sumber air lainnya. Kebiasaan membuka lahan dengan teknik tebas-bakar (slash and burn) juga merupakan metode yang dipelajari berdasarkan kebiasaan lama. Tak hanya petani sawit, petani dan peladang tanaman lain pun banyak yang melakukan hal ini karena kebiasaan tanam berpindah yang dilakukan sejak lama oleh keluarga mereka.