Lihat ke Halaman Asli

Problem Islam Kini

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak dapat kita sangkal, bahwa umat Islam, di negeri kita – Indonesia – adalah penganut terbesar. Namun, pemahaman terhadap terma “Islam” yang kaku dan rigid mengakibatkan agama ini menjelma serupa “reflika” yang tak hidup alias mati. Padahal, doktrin Islam menganjurkan umatnya untuk memiliki kreativitas (ijtihad) dalam memahami ajaran langit agar tak lekang di makan zaman, tak surut dituntut waktu.

Problem Islam hari ini adalah minimnya pemahaman atas Islam sebagai Agama dan Islam sebagai (penggerak) kebudayaan. Agama berpijak pada “kelangitan/Tuhan”. Budaya menyandarkannya pada kebumian/realitas kemanusiaan”. Bagaimanakah “Agama” didekati dengan pendekatan “Kelangitan” sekaligus “kebumian”?

Kemudian menyeruak pertanyaan problematis karena pada dasarnya agama yang diyakini turun dari langit ketika kita tafsirkan dan pahami, itu merupakan pendekatan “kebumian”. Dalam arti, manusialah yang menentukan bentuk agamanya. Bukan Tuhan. Kesalahan berpikir kita hari ini adalah memahami bahwa hasil dari penafsiran kita terhadap agama sebagai ketentuan dari Tuhan, sehingga tidak memberikan tempat bagi penafsiran yang lain.

Manusia terkendala “ruang dan waktu” sehingga pemahaman terhadap ajaran agama menjadi tidak mutlak kebenarannya. Dalam bahasa lain, tak ada kebenaran final tentang bentuk Islam hari ini. Apa yang ditafsirkan Muhammadiyah dan NU tentunya tidak dapat ditetapkan sebagai bentuk Islam sesungguhnya. Islam sebagai bentuk, dalam pandangan saya, tak pernah berhenti pada satu pemahaman an sich. Melainkan, dalam berjuta pemahaman yang ragam. Seperti halnya budaya di setiap daerah. Pun begitu Islam. Akibat pemahaman beragam, akan lahir bentuk Islam yang beragam pula. Bukan Islam yang diseragamkan dengan jejalan fatwa, yang mengingkari kebebasan.

Sebuah agama yang tak hanya mengurusi ikhwal ritual eksoterik, namun juga berusaha menangkap semangat esoterik dalam memahami Islam. Berislam dalam pemahaman saya yang subjektif sekaligus intersubjektif tak hanya sekadar penegakkan syari’at Islam di bidang politik-struktural semata. Berislam, dalam pandangan saya, merupakan kegiatan menebarkan keselamatan bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).

Perspektif fungsionalisme, kehadiran agama mesti memiliki fungsi bagi kehidupan umat manusia.  Agama, wajib berfungsi membenahi kehidupan yang sedang karut-marut. Agama, menurut Alferd North Whitehead, ditinjau dari segi doktrin ialah sistem kebenaran yang memiliki kekuatan untuk membentuk karakter, asalkan kebenaran itu dianut secara tulus-ikhlas (sincerity) dan dihayati sungguh-sungguh. Karakter hidup manusia tergantung pada keyakinan-keyakinan. Apa yang tumbuh dari agama adalah karakter yang layak dari individu (individual worth of character), tetapi “Worth” dapat berwujud baik dan berwujud buruk. Namun, bagi Whitehead, yang paling penting dalam menyoroti agama, bahwa makna transenden dapat terlihat jelas dari perjalanan historis. Misalnya, kegemilangan setiap agama dapat dilihat dari kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Agama – apa saja – seandainya dapat menyetubuhi realitas dengan terukur dan akurat akan melahirkan bentuk kebudayaan. Ketika penganut agama menafsirkan ajarannya untuk membangun sebuah sistem perekonomian, itu merupakan wujud kebudayaan yang bersifat ilahiyah. Karena konsep epistemologisnya adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah-esoterik sekaligus ilahiyah eksoteris.  Islam, adalah nilai-nilai kehidupan yang diturunkan dari langit, sementara budaya bisa berarti nilai, pengetahuan, tradisi, seni, sastra dan karya umat manusia yang dihasilkan dari aktivitas pemikiran (ijtihad).

Dalam pandangan saya, Islam adalah kebudayaan ilahiyah yang lahir atas kerjasama manusia dengan Tuhan dalam membetulkan struktur kehidupan. Utusan Tuhan (baca: para nabi) adalah segelintir manusia yang mendapatkan kehormatan untuk berdiskusi dengan-Nya tentang bagaimana merancang agar kehidupan tidak karut-marut. Itulah kenapa agama diartikan sebagai “tidak hancur” dan dalam bahasa Inggris berarti religion, yang berarti religere (mengikat).

Ketika umat manusia tidak mampu meresapi saripati keagamaannya dalam hidup, posisinya sama dengan manusia yang lumpuh dan tak berdaya. Islam, ketika dianut dalam kehidupan harus membuahkan karya nyata, sehingga agama ini berfungsi secara manusiawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline