Lihat ke Halaman Asli

Mengintip Peluang Penerbitan Bukumu

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_33167" align="alignleft" width="125" caption="Menulis"][/caption]

Sebetulnya tulisan ini hasil dari perbincanganku dengan salah seorang editor di Bandung. Kemarin, kamu juga tahu, aku sudah menulis cara memaksamu menuliskan ide. Sekarang, alhamdulillah, aku akan meneruskan pembahasan soal menawarkan idemu ke penerbit. Aku khusnudzan saja, kamu sudah pada ahli menulis. Kamu sering menulis catatan harian, kisah pengalaman, dan artikel reflektif di blog kamu. Itu modal untuk calon naskahmu.

Sebetulnya blog kamu punya potensi untuk dilirik sebuah penerbitan. Syaratnya ada sesuatu yang bisa bikin pasar pembaca bergerombolan membelinya. Aku angkat jempol kaki buat si Raditya Dika. Dia menuliskan pengalaman ketololannya di sebuah blog, www.kambingjantan.com. Dengan berjuang mengirimkannya ke penerbitan dan ada penolakan, itu pesan bagimu. Bahwa idemu belum tentu diterima sebuah penerbitan. Namun, si Radithya tanpa putus asa, dia terus mengunjungi penerbitan dan memaparkan potensi naskahnya itu. Finally, naskahnya diterbitkan dengan judul, Kambing Jantan. Aha…, kemudian kamu mengacungkan tangan. Bertanya padaku tentang cara menghadapi penolakan penerbit.

Aku hanya bisa menjawab, redamlah kekecewaan dan hapuslah dalam beberapa detik. Kemudian, rajut kembali harapan dengan berkarya tanpa henti. Seperti dibilang mendiang Martin Luther King, “We must accept finite dissappointment, but never lose infinite hope.” Artinya, begini kawan, kita boleh menerima kekecewaan sementara, namun jangan sampai kehilangan harapan yang tak berbatas.

Kalau, toh, kamu sudah mengirim naskah ke penerbit tapi tak kunjung diterbitkan; itu bukan akhir dari sebuah proses berkarya. Teruslah pupuk harapan untuk menjadi penulis buku. Maka, secercah semangat akhirnya dapat membentuk gelombang-gelombang dahsyat berupa semangat menggebu melahirkan karya baru. Persoalan yang mesti kamu camkan kuat-kuat adalah membuka “hijab komunikasi” dengan pihak penerbit. Khususnya editor. Mereka tahu banyak tentang naskah yang layak diterbitkan penerbitan tempatnya bekerja.

Minimalnya kamu tahu alamat email dan no kontaknya. Atau bisa juga dengan cara datang langsung ke kantor redaksi penerbitan. Kamu mengobrol dengan editor tersebut, buku apa yang sedang dibutuhkan penerbit. Kemudian, mulailah menyusun naskahmu sehebat mungkin. Penulis modern, bukan hanya bertengger di atas kursi. Tetapi, proaktif menawarkan idenya kepada penerbit. Berdiskusi dengan editor perbukuan. Bahkan, sekali-kali pergilah ke toko buku. Kalau mau menulis buku best seller, tinggal pelajari buku-buku yang bertengger di rak best seller. Mudah kan?

Nah, setelah bukumu terbit promosikan kepada komunitas, teman, saudara, dan jangan lupa rajin bersedekah. Insyaallah bukumu akan menjadi sumber keberkahan.  Oh…, iya, terima kasih, kamu mengingatkanku tentang persoalan naskah yang ditolak penerbit. Dalam mata batinku, setiap naskah hebat-hebat. Tidak ada rumusan jelek dalam sebuah karya. Kenapa naskah ditolak, itu bisa berarti ada buku yang sama dengan naskahmu. Belum menyentuh pasar pembaca yang jelas. Tidak tepat mengirim naskahmu ke penerbit tersebut. Nggak mungkin, kan, kalau kamu menulis buku how to dan mengirimkan ke penerbit yang khusus menerbitkan buku wacana pemikiran.

Gaya bahasanya, pembahasannya, tren perkembangan buku, dan tetek bengek penulisannya. Kalau malas membuka hijab itu, silakan kamu print out naskahmu, berikan surat pengantar, nomor HP, kemudian kirimkan ke alamat penerbitan itu. Kalau kamu beruntung, naskahmu akan diterbitkan. Utamanya, kalau bukumu sesuai permintaan pasar. Hehehe

Bagaimana mengetahui pangsa pasar pembaca naskah-naskahmu? Itu akan aku bahas pada kesempatan yang lain. Ya, besok atau lusa. Ketika aku merasa terpaksa ataupun tidak merasa terpaksa. Yang jelas, sekarang aku sedang belajar membagi waktu yang sedari dulu tak bisa kubagi-bagi. Hehe

Ingat bukalah hijab komunikasimu. Mulailah bertanya dan mencari nama sang editor di akun facebook kamu. Setelah dikonfirmasi, dekatilah. Ucapkanlah sesuatu yang positif. Lantas, setelah ada kedekatan emosional tawarkanlah idemu itu. Inilah model nepotisme yang dihalalkan. Hahaha

Satu lagi catatan penting, cari nomor Hand Pone-nya, alamat emailnya, dan kalau perlu alamat weblognya. Berinteraksilah dengannya. Binalah hubungan yang akrab. Sembari memincingkan mata, buku apa yang sedang dibutuhkan pasar, kamu menyusunlah naskahmu sehebat mungkin. Percaya dirilah. Jangan gampang sakit hati. Seperti pepatah bijak yang aku kutip dari Martin Luther King, “We must accept finite dissappointment, but never lose infinite hope.”

Let’s Write for Happiness!!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline