Seorang kawan dunia maya yang sudah tinggal beberapa tahun di Norwegia mengunggah sebuah foto buku pelajaran anaknya. Ia menulis bahwa buku tersebut merupakan pinjaman dari sekolah. Anaknya baru saja memasuki tahun pelajaran baru sehingga ia membawa buku-buku diktat pinjaman dari sekolah yang merupakan buku bekas yang pernah digunakan oleh kakak kelasnya. Buku-buku pinjaman tersebut ada yang sudah dipakai selama tujuh tahun, sebagian besar yang lain sudah dipakai minimal dua tahun.
Itulah uniknya sistem pendidikan di sana. Ada buku yang sudah digunakan selama tujuh tahun, tapi masih bisa dipakai hingga sekarang. Orang-orang di negeri kita menyebutnya dengan buku lungsuran. Buku lungsuran ini di beberapa perpustakaan sekolah memang ada. Tapi, sepertinya buku tersebut jarang disentuh dan dibaca siswa. Para siswa sekarang tentunya lebih suka buku yang baru, yang masih bersegel. Kalaupun lungsuran, jarang yang usianya lebih dari tiga tahun.
Saya bertanya-tanya: apa kabar buku-buku pelajaran yang dulu pernah saya pelajari di SD, SMP, atau SMA? Apakah buku-buku tersebut masih berujud? Ataukah sudah bermetamorfosis menjadi bungkus tempe? Jika masih ada, masihkah bisa dibaca dan dipelajari oleh siswa masa sekarang?
Bagi sebagian --besar-- orang, buku pelajaran adalah buku kenangan. Mungkin kita pernah berbenah rumah, lalu menemukan buku pelajaran yang sudah usang. Kita pun terbawa kenangan oleh buku tersebut. Kenangan masa kecil dan remaja. Hanya itulah manfaat dari buku pelajaran: sebagai kendaraan pembawa kenangan.
Apakah materi buku tersebut masih berguna dan bisa gali pengetahuannya pada masa sekarang? Mungkin kebanyakan kita malah menertawakan diri sendiri sambil berkata: mengapa saya dulu tidak bisa memahami materi semudah ini? Atau mengapa saya dulu mempelajari hal semacam ini?
Jika buku tersebut diberikan kepada anak yang bersekolah hari ini, apakah si anak mau menerima? Saya kira tidak mau. Buku itu tak berguna bagi mereka. Selain sudah usang, materi pelajaran yang diajarkan di sekolah sudah berbeda, sedikit ataupun banyak.
Apalagi dengan bergantinya kurikulum sudah pasti berganti buku yang dipakai. Akibatnya, buku pelajaran yang dipakai takbisa berumur panjang. Setidaknya paling lama lima tahun sudah tak bersesuai dengan kurikulum. Jika ada buku pelajaran berusia lima tahun, itu sudah hebat.
Saya pernah mendapat cerita dari seorang manajer sebuah penerbitan besar yang mencetak buku-buku pelajaran untuk sekolah. Dulu, saat ramai-ramai penyusunan BSE (Buku Sekolah Elektronik) yang kemudian menjadi buku pegangan siswa untuk belajar di sekolah, manajer tersebut mengatakan bahwa ia mengalami kebimbangan: apakah mencetak buku pelajaran seperti tahun-tahun sebelumnya dengan risiko penjualan akan menurun, ataukah mengikuti tender untuk mendapatkan hak cetak buku-buku BSE dengan keuntungan yang takbanyak --karena pemerintah sudah menetapkan harga jual tertinggi untuk buku-buku BSE.
Pun dengan kurikulum yang berganti, struktur dan materi buku pelajaran pun berganti. Penerbitan-penerbitan menjadi bimbang kembali. Ada sekolah yang masih menggunakan kurikulum yang lama, ada sekolah yang sudah menerapkan kurikulum yang baru. Penerbit pun harus mencetak dua versi buku untuk dua kurikulum yang berbeda. Imbasnya tentu saja pada peningkatan biaya produksi.
Pemerintah juga mengeluarkan biaya yang besar untuk menyediakan buku pelajaran baru yang sesuai dengan kurikulum terbaru. Pemerintah melakukan penjaringan ataupun sayembara untuk pengadaan buku teks, melaksanakan diklat penyusunan buku teks, dan mengadakan tender untuk pencetakan buku tersebut –yang tentunya berbiaya besar.
Saya mengenal seorang guru yang mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk menyusun buku teks. Buku teks tersebut disusun berdasarkan kurikulum 2013. Guru tersebut telah mengikuti beberapa pelatihan penyusunan buku teks. Buku teks yang disusunnya pun telah jadi. Kemudian, ada rencana penyempurnaan kurikulum. Konsekuensinya, buku teks harus disusun lagi sesuai struktur kurikulum yang baru. Guru tersebut mengatakan bahwa buku yang disusunnya tersebut mungkin hanya digunakan 1 atau 2 tahun saja. Setelah penyempurnaan kurikulum, kemungkinan besar akan disusun buku teks yang baru.