Sebelum menonton Marlina, saya bersama kawan di kantor sedang memperbincangkan drama epik antara Kak Sunu dan Umi Pipik. Tentu saja acara menggosip ini kami lakukan saat jeda diskusi mengenai shortfall penerimaan pajak tahun ini. Whoilaaa!!! Ada korelasi menarik antara genre kisah nyata tadi dengan fiksi di film ini.
"Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" mengisahkan perjuangan seorang Marlina, perempuan asli Sumba dalam mempertahankan harga dirinya di antara dominasi para pria di sekitarnya. Dari komen-komen orang bule saat film ini menang di festival Cannes dahulu, tersebutlah istilah gender equality, feminist, sexist apalah apalah. Saya juga gak begitu paham apa maksudnya. Tapi tema itu harus saya tulis agar resensi ini (terlihat) lebih cerdas dan berkualitas.
Kembali pada alur film. Sesuai judulnya, cerita dibagi dalam empat babak; perampokan, perjalanan, pengakuan dosa, dan tangisan bayi. Fondasi cerita dibangun dengan latar belakang keluarga Marlina yang menanggung banyak hutang selepas kematian si anak. Konon, biaya ritual untuk pemakaman di Sumba memang teramat mahal. Entah karena apa, si suami lalu ikut meninggal. Mayatnya pun dimumikan di rumah karena Marlina tentu tak sanggup lagi membiayai pemakamannya.
Marlina pun kini berstatus janda di rumahnya sebatang kara. Dan janda itu diperankan oleh Marsha Timothy. Okey fine. Pilihan yang mantap.
Tapi di sini, Marlina bukanlah seorang perempuan biasa. Di babak pertama, dia sudah berhasil melumpuhkan lima laki-laki penagih hutang yang sudah merampok isi rumah dan ternaknya. Sendirian pula. Saat sekawanan pria hidung belang sudah siap merenggut kesucian Marlina yang tinggal seorang diri, saya sudah membayangkan adegan selanjutnya akan diunggah di situs reality kings atau brazzer. Ternyata tidak. Marlina tampil memberikan perlawanan dahsyat bahkan sukses menebas kepala si pemerkosa. Yaaah kecewa lah....
Eh, maaf.
Kisah selanjutnya adalah perjalanan Marlina menuntaskan dendam. Dilatari dengan panorama sabana yang aduhai, film ini bakalan bikin penonton terus melek melihat keindahan pulau Sumba serta mbak Marsha yang menenteng kepala si pemerkosa kemana-mana. Plus dibuntuti seorang pria tanpa kepala sambil main gitar khas Sumba. Serem? Nggak sih. Lebih serem pria tanpa hati yang mau-maunya jatuh ke dalam pelukan Pelakor sih.
Tak perlu saya teruskan lagi ceritanya ya. Yang jelas ceritanya tak berat-berat amat dan tak bakalan ada beban penasaran lagi di akhir film. Kalau ditimbang-timbang, film Marlina ini gayanya mirip ala-ala film Quentin Tarantino dengan kearifan lokal; gaya koboy, rada sadis, dialognya juga kadang gemesin dan lucu. Meski katanya ini film surealis dan berkualitas internasional, tak perlu dipikirkan itu. Dinikmati saja. Wong saya juga bingung surealnya dimana.
Terus apa hubungannya Marlina ini sama Umi Pipik? Ah saya juga bingung jawabnya. Sebentar saya Tanya mbak Jennifer Dunn ama Shafa Aliya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H