Kopi Apek adalah kopi terbaik yang pernah saya nikmati. Setidaknya hingga detik ini. Mungkin ini dianggap berlebihan tapi memang begini adanya perasaan saya.
Sudah banyak tempat kopi yang saya kunjungi, terutama di ibukota. Dari kedai kopi khas nusantara hingga coffee shop yang ngehitz semacam Starbucks dan kawan-kawan. Di banyak tempat itu, tak pernah saya dapatkan perasaan yang serupa di kedai kopi Apek kemarin.
Memasuki kedai kopi Apek ibarat mengintip lorong waktu ke masa lalu. Kita disambut antiknya bangunan masa kolonial lengkap dengan kehangatan di dalamnya. Suasana guyub, semua orang menunjukkan wajah bahagia. Tawa hadir berselang-seling. Jika tak sedang bercakap, pengunjung hanya khusyuk dengan dua hal, kopi dan sarapannya. Hampir tak ada waktu untuk ber-gadget ria. Kedai ini seolah ingin menegaskan, para alay tak diterima di sini. Kecuali kami, tentu saja. Ehm.
Kopi Apek sudah dibuka sejak tahun 1922. Di usia yang hampir seabad, kualitasnya konon tetap dijaga seperti semula. Karena itu, secangkir kopi robusta hitam sudah cukup untuk merasakan bagaimana hakikat cita rasa kopi sejati. Ia disajikan dengan cangkir keramik bernuansa hijau, mengingatkan saya akan gelas bercorak serupa yang banyak digunakan para para orang tua di desa saat kecil dulu.
Kopi Apek sudah diciptakan dengan komposisi yang nyaris sempurna. Kasak-kusuk mengatakan mereka sudah punya standar takaran kopi, suhu air hingga jumlah adukan yang pakem. Demi keotentikan rasa, kita tak perlu lagi memberi tambahan apa-apa termasuk gula sekalipun. Kopi hitam orisinal ini sudah benar-benar paripurna.
Hiruplah aroma wanginya dalam-dalam. Seduhkan bibir anda pada tepi cangkir lalu anda akan mendapati sebuah orgasme rasa yang berpeluh kepuasan. Tenangkan diri anda dengan sejenak jeda karena kopi ini masih akan terus memaksa perasaan anda menggelinjang riang. Pejamkan mata anda dan rasakan syaraf-syaraf kenikmatan anda mendesah ruah. Sungguh kepuasan yang tak terperikan nilainya. Aaaaah lebaynyaaa.
Sebagai teman ngopi di kedai ini, banyak penganan yang disediakan seperti roti srikaya atau keju. Kalau dirasa kurang, ada sarapan berat yang dijajakan di luar seperti bihun goreng yang juga laris manis dipesan. Yang perlu dicatat, kedai Apek tak buka sepanjang hari. Menjelang siang selalu tutup. Jadi jika ingin ngopi sekaligus sarapan, pengunjung harus bergegas tersebab meja yang tersedia juga terbatas. Begini lah Medan, selera kulinernya tinggi sekali. Makanan terbaik selalu jadi rebutan warganya.
Medan memang agak berbeda dengan kota lain. Di kota ini, dan juga beberapa kota lain di Sumatera, kedai kopi adalah warisan budaya yang sudah ada sejak dulu. Di tempat lain tentu mudah juga bagi kita menjumpai kedai kopi. Namun nuansanya tentu berbeda. Tak semua khasanah kearifan lokal terasa di semua tempat yang kita sua.
Sejak booming film Filosofi Kopi, banyak kedai kopi dibuka secara masif. Macam-macam brandingnya. Tidak semuanya tapi sebagian besar ruhnya hanya demi memenuhi hasrat hedonisme semata. Ada kedai yang menjual kopi lengkap dengan sejarahnya. Ada yang turut memberikan ceramah proses pembuatannya. Ada yang menyuruh pengunjung membuat kopinya sendiri. Genre kopi pun jadi makin beragam dengan aksesori dan nama yang makin susah dicerna. Akhirnya, ngopi pun seolah menjadi ritual yang ruwet, njlimet.
Mungkin kita lupa, kopi sesungguhnya menyiratkan filosofi kesederhanaan dalam dirinya. Bukankah menikmati kopi bersama pisang dan kacang rebus saja sudah begitu nikmat. Pemerkosaan kopi oleh pemuja kapitalisme dengan dalih kesempurnaan bisa jadi hanya akan menurunkan derajat kopi. Biarkan ia apa adanya. Seperti kata Dee; sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.