Lihat ke Halaman Asli

pungipung

Pegawai Negeri Selebriti

Berwisata Rasa di Kota Surakarta

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1372758828321406905

Setelah sekian lama berkeinginan menjejakkan kaki di Solo, akhirnya kemarin niat itu kesampaian juga. Sayang saya hanya sempat seharian berada di Solo. Padahal banyak sekali daftar kunjungan yang sudah lama saya catat di kepala. Solo, selain memiliki situs dan ritus sejarah yang sudah sangat terkenal, juga memiliki pesona khas yang sangat menarik bagi setiap pencinta kuliner. Keistimewaan Solo sebagai salah satu warisan sejarah nusantara tentu menyimpan rahasia cita rasa dalam setiap sajian kulinernya. Keunikan inilah yang begitu menggoda lidah para pencinta masakan nusantara. Bersama kawan dari Solo, kami memulai hari di kota keraton dengan setangkup surabi Notosuman. Surabi sebenarnya mudah dijumpai di banyak kota di Jawa dengan keunikannya masing-masing. Surabi Notosuman termasuk jenis yang simpel dan tak berkuah-seperti halnya kebanyakan serabi di daerah Jawa Timur. Rasa yang ada kebanyakan hanya terdiri dari rasa original dan coklat, berbeda dengan surabi Bandung misalnya, yang kaya variasi dengan beragam topping. Surabi Notosuman memiliki cita rasa spesial. Tekstur surabi cukup lembut dan kenyal, dengan kulit luar yang sama sekali tak keras menandakan hasil panggangan yang sempurna. Berapa jam pun serabi ini disimpan, selama belum kedaluarsa, kelembutannya masih tetap terjaga. Tentu tak ada alasan menunggu lama untuk menyantapnya. Selagi hangat, semakin lezat penganan yang satu ini disantap. Puas mengisi perut dengan kudapan gurih tadi, saya mencoba menu yang lebih “berat” untuk makan siang; selat bistik dan tengkleng.Pilihan saya jatuh pada selat bistik bikinan Warung Mbak Lies yang memang paling populer di Solo. Mengenai selat bistik, kita pasti mafhum kalau dari namanya saja menu yang satu ini bukan 100% kuliner asli Jawa. Selat bistik, gabungan dari dua kata; selat dan bistik, adalah menu adaptasi dari masakan Eropa (Belanda); salad dan biefstuk. Selat Bistik Warung Mbak Lies Kota ini memang memiliki satu episod sejarah yang cukup mesra dengan keberadaan Belanda di nusantara. Bermula dari kedekatan pangeran Amangkurat dengan VOC, kebudayaan Belanda perlahan menyusup dalam kehidupan keraton. Akulturasi pun menjadi tak terelakkan. Hebatnya, daya kreasi masyarakat Jawa mampu mengadaptasi kultur-kultur Eropa itu menjadi lebih njawani. Tak cukup bahan dan rasa, namanya pun diadaptasi ke bahasa lokal. Tengoklah selat bistik ini. Salad yang umumnya kita kenal diolah sedemikian rupa menjadi lebih ramah dengan lidah lokal. Sayuran, sebagian masih segar sebagian lagi dikukus atau digoreng, dipadu kuah manis yang tak begitu kental. Tak lupa irisan bawang-bawangan untuk mempertegas kekhasan menu masakan timur. Di selat bistik Warung Mbak Lies ini, bistiknya tak dominan, tenggelam dalam rasa selat. Selain ukuran bistiknya memang super mini, rasanya pun tidak begitunendang. Inilah yang menjadi kekurangan terbesar selat bistik warung Mbak Lies. Namun kalau mengingat murahnya harga yang dipasang, rasanya kekurangan tersebut bisa sedikit dimaklumi. Tengkleng Bu Edi Tidak terlalu kenyang dengan selat bistik, kami memutuskan mencicipi menu khas Solo lainnya, tengkleng. Menu yang satu ini lebih berat. Satu genre dengan tongseng dan gulai, bedanya tengkleng lebih encer dan tak banyak menggunakan bahan berupa daging. Tulang dan jeroan kambing lah yang menjadi pemeran utama disini. Sesuai rekomendasi , kami memilih warung tengkleng bu Edi di samping gapura utara pasar Klewer. Inilah warung tengkleng paling masyhur di antero Solo. Setiap harinya hanya buka tak lebih dari setengah hari. Buka sekitar jam 14.00 dan akan habis beberapa jam kemudian. Sadar harus berburu dengan waktu, kami datang sebelum jam buka dimulai. Benar saja, ketika waktu sudah mendekati jam 14.00, warung ternyata sudah penuh dengan pengunjung. Kami telat namun masih beruntung karena antrean belum terlalu panjang. Tengkleng Bu Edi disajikan dengan cara yang istimewa. Bukan dengan piring biasa tapi dengan daun pincuk yang bersahaja. Dengan kesederhanaan itu, Bu Edi seolah makin mendekatkan tamunya dengan hakikat tengkleng yang dulu konon hanyalah makanan para rakyat jelata. Masyarakat dulu memang menciptakan tengkleng sebagai pelampiasan keinginan menyantap menu daging yang tak terjangkau. Jadilah bahan-bahan terpinggirkan seperti tulang dan jeroan kambing diolah menjadi menu pemuas nafsu makan. Seiring perkembangan jaman, tengkleng tak lagi dipandang sebelah mata. Tengkleng kini bukan hanya milik kaum jelata.  Ia menjadi makanan kesukaan semua lapisan masyarakat. Harganya pun jangan harap bermurah ria. Seporsi tengkleng bu Edy ini saja dihargai 20 ribu rupiah. Cukup mahal memang namun sepadan dengan rasa yang dihadirkan. Rasa kuahnya bikin ketagihan. Jeroan dan daging (tulang) tidak berasa liat dan empuk dikunyah. Sedapnya membuat saya tak sungkan menyeruput setiap lauk diatas sajian daun pincuk. Bau prengus yang biasa melekat pada masakan-masakan berbahan kambing tidak akan sampai mengganggu kekhusyukan kita bersantap siang. Akhirnya tentu bisa ditebak, tengkleng yang tadi utuh selanjutnya tandas tak bersisa. Puas rasanya. Nasi Liwet Bu Sarmi Menjelang larut malam, kami mengganjal perut kosong dengan setangkup nasi liwet, menu spesial lainnya dari kota kelahiran Jokowi ini. Nasi liwet di Surakarta, seperti halnya nasi uduk di Jakarta, bisa dicari dimana saja dan kapan saja. Keduanya sama-sama fleksibel sebagai sarapan, makan siang, bahkan makan malam. Hampir di setiap ruas jalan raya dapat dengan mudah dijumpai satu-dua pedagang nasi liwet, baik yang hanya berupa kaki lima maupun resto mewah. Di pasar rakyat, para pedagang nasi liwet lebih banyak lagi jumlahnya. Kelestarian para penjaja menu ini konon terjaga karena orang Solo seolah sudah mendaulat nasi liwet sebagai makanan yang lebih mantap untuk disantap di luar rumah. Akibatnya, masyarakat Solo cenderung lebih suka membeli nasi liwet di luaran dibandingkan memasaknya sendiri di rumah. Banyak sekali pilihan nasi liwet yang maknyus di kota ini. Beberapa yang cukup sering direkomendasikan diantaranya Nasi liwet Bu Sri, bu Sarmi, bu Yani, dan nasi liwet bu Wongso Lemu. Kami memilih nasi liwet Bu Sarmi semata karena lokasinya yang lebih mudah kami jangkau. Meski begitu, pilihan ini sama sekali tak salah. Nasi liwet Bu Sarmi benar-benar pas di lidah. Maksimal pulennya. Gurihnya pun menggigit di mulut. Sayur labu yang sedap menguatkan rasa nasi yang sudah delikat. Ditambah renyah krupuk rambak yang super krispi, sempurnalah makan malam kami kali ini. Sempurna juga santapan saya hari ini. Beraneka rasa yang seharian ini sudah mampir di lidah saya memberikan sensasi yang berbeda, menjadi semcam penyegaran selera atas kebosanan cita rasa masakan ibukota. Solo memang memikat. Orisinalitas budaya dan tradisionalitas kreasi kuliner warganya masih tampak jelas bagi siapa saja yang mengunjunginya. Jika ada kesempatan, saya tak akan ragu untuk mampir kembali ke kota ini, mengunjungi dan mencicipi apa-apa yang banyak terlewatkan dalam sehari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline