Lihat ke Halaman Asli

Kebebasan Politik dan Keadilan Sosial Menurut John Rawl

Diperbarui: 4 April 2017   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Assalamualaikum Wr.Wb

Kebebasan merupakan salah satu hak dasar dari semua individu. Setiap manusia berhak atas posisinya sebagai individu yang memiliki hak-hak dasarnya seperti bertindak, berpikir, dan berinteraksi dengan siapapun. Kebebasan-kebebasan ini, menurut Paul Sieghart, adalah tentang memuaskan keingintahuan kita, mendapatkan informasi tentang sekitar kita, mengkonstruksikan segala ide, keyakinan dan mimpi, cara melihat dunia, bertukar pikiran, menyampaikan isi pendapat sebagai hasil pemikiran, mempelajari pengalaman serta berbagai hal di bidang budaya, sosial ilmiah atau seni. Hal-hal inilah yang sebenarnya membedakan manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya yaitu kekuatan atas otonomi dan kebebasannya sendiri. Meskipun demikian, terdapat satu celah yang membatasi kebebasannya, yaitu kebebasan orang lain. Hal ini yang nantinya harus membuat manusia bertoleransi terhadap hak-hak dari individu lain. Esensi dari paham liberalisme pun menjelaskan demikian. Inti pemikirannya adalah tentang kebebasan itu sendiri dan hak untuk merdeka, termasuk pada masa itu, yaitu abad ke-19 saat nama liberalisme semakin berkembang melawan servile atau penghambaan/perbudakan. Dalam artikel kali ini, terdapat dua hal menarik dari pemikiran John Rawl yang akan saya bahas, yaitu mengenai teori justice dan kebebasan berpolitik.

Inti dari perkembangan kebebasan manusia sendiri jauh berasal dari sejarah yang kompleks. Pertama, tengoklah sejarah Romawi. Ketika Konstantin pada tahun 324 SM memutuskan untuk mengalihkan ibukota dari Roma ke Bizantium, ia mengubah nama kota itu menjadi Konstantinopel. Konstantinopel dianggap menjadi tempat strategis karena dekat dengan pusat perekonomian yaitu Athena, Thessalonika dan Antioch serta lebih tepat dalam mempertahankan diri dari bangsa Jerman dan tentara Persia. Ia membawa semua jejak kekaisarannya termasuk seluruh penghuni dan pejabatnya. Jauh di ujung Roma, gereja justru menyatakan kebebasannya. Roma menjadi kental dengan pengaruh gereja dan Konstantinopel menjadi kental dengan pengaruh negara. Hal ini nantinya didorong oleh ketegangan antara kaum lord dan king, bisnis dan negara serta Protestan dan Katolik yang akhirnya membawa paham kebebasan menguat, termasuk ke Inggris dan Amerika Serikat. Kedua, lihatlah sejarah Yunani. Yunani sendiri rupanya tak mempraktikkan paham tentang kebebasan, terutama berkaitan dengan demokrasi, pada seluruh wilayahnya, hanya pada beberapa kota kecil. Di sana lah, mulai terdapat musyawarah mufakat yang kita kenal dan meletakkan kebebasan berbicara, perwakilan dan tunduk atas dasar kesepakatan bersama terhadap kekuasaan yang lebih besar. Jadi, di Barat, konsepsi tentang kebebasan sudah mengakar beberapa abad lamanya.

John Rawl sendiri mengemukakan soal A Theory of Justice berdasarkan dua prinsip utama yang erat dengan prinsip kebebasan. Pertama, yaitu “Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others.” Ini artinya, setiap orang pada dasarnya memiliki hak yang sama sebagai sebuah dasar kebebasan dan berlaku pula pada orang lain. Dalam hal ini, kebebasan dasar para warga adalah kebebasan politik, yaitu hak untuk memberikan suara dan hak atas kedudukan publik, kemerdekaan berbicara dan berkumpul, kebebasan nurani dan kemerdekaan berpikir, kemerdekaan memiliki properti, serta kemerdekaan dari penahanan dan pengambilalihan semena-mena. Kebebasan-kebebasan ini dibutuhkan untuk menciptakan keadilan agar semua masyarakat memiliki hak dan kedudukan yang sama.

Akan tetapi, kenyataannya, terkadang struktur sosial institusi dan masyarakat tidak pernah memperlakukan manusia dengan persamaan dan penuh kebebasan. Penindasan dan pengekangan terhadap cara berpikir, ideologi atau keyakinan masih seringkali terjadi. Dalam masyarakat demokratis sekalipun, sistem sosialnya memang dirancang dan ditumbuhkan untuk memiliki hak-hak dasar ini. Namun, terkadang, institusi seperti negara, tidaklah berlaku adil terhadap warganya. Mereka tidak memberikan kebebasan yang sama dan maksimal terhadap semua warganya. Pelanggaran terhadap hak-hak di atas sebenarnya juga terjadi di berbagai tempat, bahkan, negara demokratHal ini dikarenakan, menurut Rawl, kondisi ini bersifat hypothetical yaitu hanya jika berlaku dalam original position agar mencapai keadilan sosial. Original Position ini sendiri merupakan suatu kondisi dimana individu diasumsikan memilih sebuah pilihan untuk menciptakan atau menegakkan keadilan tanpa mempedulikan fakta-fakta tentang orang lain(seperti suku atau agama), mengetahui apa yang harus mereka pilih sebagai prinsip-prinsip fundamental dalam organisasi kemasyarakatan, rasional dan memiliki self interest. Dalam posisi ini, sesungguhnya, individu diasumsikan untuk bertindak demi kebaikan bersama sehingga menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

Kedua, yaitu “Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage and (b) attached to positions and offices open to all.” Melalui prinsip ini, distribusi kesejahteraan dan pendapatan serta hierarki kewenangan harus konsisten dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan kesempatan. Distribusi ini harus menjadi keuntungan dan kebaikan semua orang. Keadilan sosial ,menurut prinsip ini, akan tercapai bila mampu membagi semua keuntungan sosial dan ekonomi ini bagi semua pihak.   Meskipun demikian, ketidaksamaan posisi dalam mencapai hak-hak ekonomi dan sosial masih terus terjadi. Masih terdapat banyak warga negara yang kalah dan tidak mampu mendapatkan hak-hak ini.

Sebagai makhluk yang rasional, manusia, nampaknya diharapkan Rawl bertindak untuk mencapai kebebasannya demi menegakkan prinsip keadilan sosial ini. Hal ini ditujukan terutama untuk mencapai kebaikan semua orang. Dalam praktiknya, secara alamiah, setiap manusia akan lahir sesuai dengan takdirnya sendiri dan berada dalam posisi struktur sosial tertentu. Sifat posisi ini akan mempengaruhi prospek kehidupannya, termasuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Di sinilah yang menjadi kelemahan hasil pemikiran Rawl. Manusia yang rasional akan selalu berusaha meminimalisasi kekalahan dan ketidakmampuannya. Bahkan, jika perlu, manusia akan mengalahkan dan menghalangi kebebasan orang lain agar keinginannya tercapai. Agak sulit untuk menemukan keadilan sebagai fairness terkecuali semua manusia benar-benar mempraktikkan kedudukannya dalam original position ini. Suatu keadaan hanya disebut adil ketika semua orang yang ‘berlebih’ ini mengompensasikan manfaatnya pada orang lain, termasuk yang tak diuntungkan. Akan tetapi, sepertinya itu tidak akan terjadi secara penuh hingga 100%. Sesungguhnya, inilah celah yang masih terdapat dalam pemikiran Rawl mengenai keadilan sosial.

Maka dari itu, negara, menurut saya, memegang tanggung jawab utama untuk memastikan prinsip kedua ini. Meskipun nampaknya sulit untuk benar-benar mengeliminasi ketidaksetaraan dan inequality dalam hal sosial ekonomi, negara harus menggunakan lembaga dan kewenangannya untuk melindungi kebebasan bagi semua warga negara. Hal ini sesungguhnya memang berkaitan dengan salah satu konsepsi mengenai original position. Negara harus memperlakukan setiap warganya, tidak perduli apapan agama atau rasnya, secara sama dalam kedudukannya di depan hukum. Menurut saya, celah ini yang seharusnya diisi oleh peran negara, terutama dalam tugasnya menjamin kemakmuran umum. Kemakmuran umum sendiri merupakan tersedianya barang dan jasa bagi rakyat sehingga orang-orang dapat mencapai kemakmuran pribadinya. Rawl memang tidak terlalu banyak berbicara tentang konsepsi mengenai negara dan perannya. Hanya saja, di sini, negara dapat memainkan peranannya agar mengatur segala sumber daya ekonomi, termasuk barang dan jasa terjangkau bagi semua pihak. Negara tidak perlu menghadiahkan semua sumber itu secara cuma-cuma, tetapi memastikan ketersediaan dan keterjangkauannya bagi seluruh warga negara.

Kedua, adalah mengenai kebebasan berpolitik itu sendiri. Menurut Rawls, kebebasan adalah “…essential social conditions for the adequate development and full exercise of the two powers of moral personality over a complete life." Mengenai equal basic liberties, Rawls menyebutkan beberapa hal. Hal ini adalah kebebasan berpikir, liberty of conscience, kebebasan berpolitik, kebebasan berasosiasi, kebebasan yang berkaitan dengan kebebasan dan integritas dari manusia dan hak-hak dan kebebasan yang dilindungi hukum. Kebebasan sendiri nyatanya menjadi penghargaan atas diri sendiri dan kemerdekaan individu.

Kebebasan berpolitik adalah sebagai perwujudan hak-hak asasi politik sebagai manusia. Hal ini bertujuan mengembalikan perannya sebagai aspirasi untuk membentuk policy framework bagi suatu negara. Dalam kebebasan berpolitik ini, setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama dan adil untuk memegang jabatan politik dan mempengaruhi keputusan politik. Setiap warga tidak boleh diperlakukan secara berbeda saat mengajukan diri dalam pemilihan legislatif atau eksekutif. Mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama dan layak.

Warga negara, dalam konsepsi Rawls, memiliki hak dasar, termasuk hak berpolitik. Meskipun demikian, pertanyaan terbesarnya terletak pada stabilitas dan legitimasi. Stabilitas berkutat pada mengapa warga negara yang bebas dan merdeka harus tunduk pada satu undang-undang tertentu. Menurut Rawl, hal ini dapat dijawab dalam konsep overlapping consensus. Dalam konsensus ini, warga negara mendukung undang-undang karena berbagai alasan yang berbeda. Mereka mendukung konsep liberal politik tentang keadilan berdasarkan doktrin pribadi yang diyakini.

Doktrin pribadi ini, misalnya, ada dalam doktrin Katolik. Doktrin yang dikeluarkan gereja Vatikan ini mendeklarasikan bahwa manusia berhak terhadap kebebasan beragama. Siapapun berhak untuk memilih agama yang ia yakini. Tidak ada kekuatan yang lebih besar, termasuk negara, untuk memaksanya berpindah atau memilih agama tertentu. Setiap aktivitas ibadahnya pun tidak dapat dilarang. Hal ini sesuai dengan paham liberalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Nilai-nilai ini sebenarnya berakar dalam diri manusia dan manusia berhak memilikinya. Di sinilah, doktrin ini mendorong mereka untuk memahami konsep liberal politik dalam overlapping consensus.

Masalah legitimasi sendiri terletak pada bagaimana mengatur warga negara yang merdeka ini  agar dapat diatur dalam satu set perundang-undangan tertentu. Kekuatan politik sendiri hanya dapat dijalankan asalkan sesuai dengan kehendak seluruh rakyat yang ada dalam konstitusi. Hal ini pun terkadang berkaitan pula dengan tindakan politik yang koersif. Penggunaan kekuatan politik ini tidak dimaksudkan untuk mengalahkan atau mendominasi agar tercipta keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Akan tetapi, warga negara hanya dapat diatur selama menjadi reasonable citizen. Manusia memiliki kapasitas toleransi dan penghargaan yang sama, termasuk menghargai berbagai perbedaan doktrin yang dianut. Warga negara dianggap mampu untuk bekerja sama karena memiliki keinginan dan toleransi.  Mereka akan terikat dalam masyarakat dan bersedia diatur dalam kekuatan politik yang dilegitimasi secara bersama.

Jadi, dua pemikiran John Rawl yang menarik untuk disimak adalah mengenai konsep keadilan sosial dan kebebasan berpolitik. Setiap manusia berhak atas kebebasan dan kemerdekaannya dalam berpikir, bertindak dan berkata. Dua prinsip tentang keadilan sosial serta kebebasan berpolitik ini masih memiliki celah yang masih dapat dikritik. Di sini, negara sebenarnya dapat menjalankan perannya untuk memastikan keadilan sosial tercipta bagi semua warga negara.

P. Sieghart, The Lawful Rights of Mankind, Oxford University Press, Oxford, 1986, halaman 138

L.V Mises, Menemukan Kembali Liberalisme, Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta, 2011, Halaman 24

F. Zakaria, Masa Depan Kebebasan:Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain, PT Ina Publikatama, Jakarta, 2004, halaman 21

F. Zakaria, Masa Depan Kebebasan:Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain, halaman 25

R. Sushila, Liberty, Equality and Social Justice: Rawls Political Theory, Ajanta Publications, New Delhi,1990, halaman 47

J. Losco dan L. Williams, Political Theory Classic and Contemporary Readings, edisi bahasa Indonesia, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer Macchiaveli-Rawls, diterjemahkan oleh H. Munandar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003,Halaman 1011

S. Sinokki et all, ‘A Critique of John Rawl’s Hypothetical Contract as Means of Determining Justice from the Angle of Political Realism’(daring), Suomen Akatemia, diakses dari http://www.aka.fi/Tiedostot/Tiedostot/Viksu/sami%20sinokki%20ty%C3%B6.pdf, 1 Januari 2014, 05:29 PM

Justice(daring)’, College of Arts Sciences and Technology, diakses dari http://lilt.ilstu.edu/pefranc/3-ts%20of%20justice.htm, 2 Januari 2013, 05:23 PM

R. Sushila, Liberty, Equality and Social Justice: Rawls Political Theory, halaman 47

K. Dipoyudo, Keadilan Sosial, CV Rajawali, Jakarta, 1985, halaman 13

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline