Pembelajaran tatap muka sudah sampai pada ujung semester satu. Sekolah kembali hidup. Jalanan kembali penuh oleh pengendara berseragam, merah, biru, maupun abu-abu. Tidak hanya murid yang merasa senang, guru juga demikian. Namun, lagi-lagi tantangan selalu ada dalam pembelajaran. PTMT memaksa guru mengajar secara daring dan luring sekaligus. Seperti penjelasan sebelumnya, bisa dilakukan secara sinkron dan asinkron sesuai kesepakatan dengan murid.
Selanjutnya, tentang penilaian, yang sekarang dikenal dengan asesmen. Guru dapat memilih berbagai variasi asesmen yang memungkinkan perekaman secara detail proses belajar murid sampai dengan produk yang dihasilkan. Namun, perlu diingat, asesmen itu berlaku juga sebaliknya.
Contohnya saja dengan refleksi. Refleksi bisa digunakan untuk merekam proses belajar murid, juga dapat untuk evaluasi guru. Penilaian tentang cara mengajar guru bisa juga dituliskan atau disampaikan melalui refleksi tersebut.
Sebagai guru seyogyanya mau menerima saran dan kritik dari teman sejawat bahkan murid. Kegiatan pembelajaran dapat dimanfaatkan untuk ajang refleksi guru agar lebih baik dalam pengajaran. Hal ini, karena murid yang menikmati penyampaian atau teknik yang digunakan guru di depan kelas maupun saat belajar jarak jauh. Saran dan kritikan ini akan mencambuk kegairahan guru lebih berinovasi dalam pembelajaran. Jangan diartikan sebaliknya, saran dan kritik bukan berarti murid sedang meremehkan guru. Jika mereka dirasa bertutur demikian, tugas guru mengarahkan murid untuk berkomunikasi dengan baik agar berdampak baik bagi murid ketika bermasyarakat.
Kegairahan yang diekspresikan oleh guru dapat juga menjadi rangsangan semangat belajar murid. Motivasi murid akan meningkat. Selanjutnya, murid lebih aktif dalam pembelajaran. Antusias belajar mereka juga pasti lebih meningkat. Mereka akan cenderung terinspirasi untuk lebih baik. Ini membuktikan bahwa kegairahan guru berbanding lurus dengan keantusiasan murid. Sekarang, bagaimana cara menjaga kegairahan mengajar itu tetap ada?
Yang pertama, tentu saja niat. Niat akan menjadi tolok ukur yang mumpuni untuk menjaga gairah saat mengajar.
Niat mengajar untuk mencerdaskan anak bangsa dengan niat mengajar untuk beribadah, akan lebih lama gairah itu tertanam saat diniatkan untuk ibadah. Setiap langkah akan bermakna.
Yang kedua, anggap menjadi guru adalah amanah.
Amanah untuk menyampaikan ilmu serta hal baik kepada murid. Bukan amanah untuk membuat murid pandai saja. Setiap murid memiliki keunikan sendiri. Kita sebagai guru tidak bisa memaksakan setiap murid menguasai mata pelajaran yang kita ampu. Mereka memiliki kelebihan masing-masing. Justru kita bisa mengarahkan dan memotivasi murid untuk menemukan kelebihan mereka, sekalipun itu tidak berhubungan dengan mata pelajaran yang kita ampu. Bahkan, saat kita menemukan kelebihan mereka, kita dapat menarik garis lurus untuk membantu meningkatkan kemampuan mereka terhadap mata pelajaran yang kita ampu.
Yang ketiga, berdoa.
Berdoa agar ilmu yang kita dapat, bisa bermanfaat untuk orang lain dan diri sendiri. Berdoa juga untuk murid. Mereka memiliki keunikan yang berbeda. Doa kita sebagai guru terhadap murid diharapkan dapat memeberikan keberkahan kepada mereka. Bukankah ketika kita mendoakan kebaikan kepada orang lain, kebaikan itu akan kembali kepada kita?