Lihat ke Halaman Asli

Rai Sukmaning

Perekayasa

Ironi yang Gamblang

Diperbarui: 23 Juli 2016   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bisa membaca pikiran orang-orang. Sebaiknya bukan membaca—tetapi memahami. Sebab membaca tanpa memahami tak ada gunanya, setidaknya dalam kasusku. Aku bisa memahami pikiran orang-orang. Aku bekerja sebagai pramuniaga di swalayan, yang mana pekerjaan itu tepat bagi orang dengan kemampuan sepertiku. Tiap hari aku bisa bertemu orang-orang baru. Namun, sebagaimana yang mungkin terjadi, mereka hanya beberapa saat menjadi orang-orang baru bagiku, sebab, tidak berapa lama kemudian, aku memahami apa yang mereka pikirkan. Aku akan mengenal mereka, meski tidak sepenuhnya. Dan itu bukan suatu kerugian bagiku, lagi pula, siapa yang bisa mengenal dan memahami sepenuhnya? Suatu hari, akan lebih baik jika itu Senin, seorang pegawai baru mulai bekerja. Dia seorang pria sopan dan tampan, bahkan, terlampau tampan bagiku. Aku jatuh cinta padanya. Hal pertama yang dia pikirkan tentangku adalah ranjang dan telanjang. Cukup mengejutkan, mengingat tak ada bagian dari tubuhku yang mengundang berahi: dadaku rata dan bokongku kempes. Tapi dia memikirkan ranjang dan telanjang. Ranjang dalam pikirannya bahkan bukan ranjang yang suci dan sah, yang, pada awalnya begitu menggangguku, dia ingin memperkosaku. Sebut saja aku naif, tetapi siapa yang tak ingin diperkosa oleh orang yang dicintainya? Aku tidak terkecuali. Dan untuk memastikan itu terjadi, bagaimanapun itu harus terjadi, aku merencanakan suatu perombakan besar atas diriku, jasmaniah, dengan pundi-pundi yang mulai kukumpulkan sejak rencana itu kutetapkan. Untuk mengurangi misteri yang tak perlu, kubocorkan rencana itu dari awal: operasi plastik. Dengan upaya itu kuharapkan kemungkinan pemerkosaan atas diriku semakin besar. Tahap demi tahap, aku mengubah bentuk tubuhku. Pertama dua bola di dadaku. Itu cukup menguras uang dan waktu. Ketika dada itu selesai, dua bola kenyal mencuat di balik seragam kerjaku yang ketat, aku berdiri di depan pria itu, memamerkannya dengan percaya diri. Saat itu, dia tersenyum malu-malu—senyum yang membuatku meledak dalam kebahagiaan—dan lagi-lagi memikirkan ranjang dan telanjang. Hanya saja, seperti halnya semua ironi yang gampang ditebak, kali ini ranjang itu jauh lebih kecil daripada sebelumnya. Kupikir itu terjadi karena ketidakseimbanganku: dada indah dan bokong kempes. Karena itu aku melanjutkan operasi. Kali ini memusatkan perhatian pada bokongku. Dokter melakukan beberapa prosedur operasi dan memasang implan ke dalam bokong kempesku, yang seketika membuatku melonjak dan merasakan bokongku menjadi jauh lebih kencang. Dua bola dada dan bokong sintal, itulah diriku sekarang—seimbang dengan caranya sendiri. Bagaimanapun, kamu boleh menyebutku binal atau mengundang berahi atau semacamnya, terserah, yang jelas aku ingin diperkosa oleh orang yang aku cintai. Seperti sebelumnya, aku memamerkan diriku yang baru pada pria itu. Berdiri dengan sikap demonstratif bagai model yang sedang menunjukkan kebaruan total dalam dunia mode. Dia menatapku aneh. Barangkali, itulah kesalahan terbesarku. Aku lebih memerhatikan ekspresi tubuhnya daripada apa yang sedang dia pikirkan. Kemampuanku jelas: memahami pikiran dan bukan memahami ekspresi tubuh. Selama beberapa bulan, aku terus melanjutkan rencanaku, melakukan operasi-operasi kecil hingga bentuk tubuh yang aku inginkan tercapai. Aku begitu senang membayangkan pemerkosaan itu terjadi. Segalanya berjalan sesuai rencana. Rencana yang sempurna, sebelum aku sadar bahwa aku telah melewatkan satu hal penting, yakni, apa yang dipikirkan si pria. Kupikir dia akan puas dengan apa yang kulakukan (untuknya), namun apapun bisa terjadi. Seperti yang kukatakan, apapun bisa terjadi, apa yang hari itu si pria pikirkan, setelah semua yang kulakukan, mengejutkanku. Saat dia mengamatiku, dari atas hingga bawah, suatu penyelidikan menyeluruh, yang tersisa dalam pikirannya hanyalah telanjang. Tak lagi ada ranjang—tak pernah. Berhari-hari dia tak memikirkan ranjang, baik saat berpapasan ataupun mengobrol denganku. Aku bisa bilang: rencanaku berhasil. Tetapi aku sadar ada sesuatu yang tak kurencanakan diam-diam telah menggagalkanku. Itu semata kesalahanku. Aku paham apa yang dipikirkannya, tetapi pemahamanku selalu bersifat ideal; aku bahkan berusaha mengangkal pemahamanku yang sesungguhnya. Aku tetap ingin diperkosa olehnya, bagaimanapun.

—21 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline