Lihat ke Halaman Asli

Adik

Diperbarui: 27 Februari 2023   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"ADIKMU ITU DIJAGA JANGAN DIGODA! NANTI KALAU NANGIS MEMANGNYA KAMU BISA NENANGINNYA?!"

Bentak Ibu lagi, lagi, dan lagi. Ibu memarahiku hanya untuk hal sepele. "Dasar Adik sialan" emosiku diujung lidah.  Hari-hari kujalani dengan meredakan tangisnya dan amarahku sendiri. Masih sulit untuk menerima keputusan bahwa aku yang suka dimanja, posisi teraman, terbaik didunia sekarang digantikan oleh bocah tengil ini. Namanya Hayu, seperti nama perempuan, wajahnya sih memang manis tapi tidak dengan sikapnya denganku.

Berbulan-bulan, berjalan berganti tahun dari bayi yang tak bisa apa-apa sekarang semakin pintar saja. Yang kutahu kami berharap banyak darinya, bocah laki-laki yang masih belum mencium busuknya dunia. 

Hayu berusia 7 tahun saat itu. Sedangkan saat itu aku kelas naik kelas 5 SD. Siang itu kami berboncengan sepeda membeli susu disebuah toko kelontong. Entah mengapa perasaan sumringah berubah jadi resah. Entah firasat apa ini. Aku menghiraukannya berharap semua akan baik-baik saja. Masing-masing dari kami memegang sebuah susu kotak rasa coklat. Mengayuh kembali sepeda unta tua, rantai yang berderit karena aku lupa meminta ayah untuk mengolesinya oli.  “Kak, aku minum dulu ya susunya.” ucapnya tak sabar sambil mencubit perut bagian kananku.

“Terserahlah, aku nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa.” ucapku sudah menyerah

Sebelum Hayu meminum ataupun memakan sesuatu dari luar, biasanya aku yang bertugas untuk mencicipi sedikit dari makanan itu. Karena kedua orang tuaku sangat menjaga Hayu dengan sangat hati-hati. Bahkan aku tak tahu apa alasannya, aku pun merasa seperti dikorbankan karena mungkin harus keracunan atau istilahnya berani mati untuk adik. Walaupun kalau aku pikir-pikir tidak sampai mati juga sih.

“Kok rasanya aneh ya susunya? Kayak tengik gitu? Emang gini ya rasanya?” Ucapnya

“Nggak ah, kamu jangan ngada-ngada ya. Aku bisa jadi dimarahi ibu habis-habisan nanti.” aku mulai cemas.

“Beneran Kak, aku nggak bohong.”

Aku menghela nafas panjang. Segera melepas selendang batik yang mengikat kaki dibawah sedel sepeda. Aku khawatir jika kakinya bergelayutan bisa masuk kedalam ruji sepeda.  Hayu berlari masuk ke dalam rumah sambil memegang sekotak susu coklat. Aku mengambil susu milikku, tanpa pikir panjang aku langsung meminumnya. Duduk dikursi karet sambil memandang langit.-

 “Memang sih rasanya sedikit tengik. Tapi kayaknya nggakpapa deh” gumamku. 

Tanpa sadar aku membalik kemasan dan membaca tanggal kadaluwarsa. Tertulis 7 November 2022. Aku mengedipkan mata beberapa kali. Tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. “Sial” kutukku. Hari ini sudah tanggal 31 Januari 2023. Aku segera berlari masuk meneriakkan nama Hayu. Dia hanya melihatku polos “Kenapa kak?”

Aku segera menyahut susu kotak miliknya, hampir habis. Aku membalikkan kotak susu dan melihat tulisan exp 7 November 2022 terpampang dengan jelas. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya

“Kamu nggakpapa?”

“Kayaknya perutku mules, sakit.” ucapnya sambil menunduk seperti takut aku melayangkan cubitan dipahanya.

Aku membuang muka. Entah rasa apa ini? Aku juga tak tahu. Merasa gagal menjadi kakak? Tak becus menjaga adik? Takut kalau ibu memarahiku lalu tidak memberiku jatah uang saku? Atau aku takut kehilangan adik  hanya gara2 susu? Entah, aku juga tak tahu.

Sudah kuduga, malam ini hidupku akan berakhir. Ibu mengamuk habis-habisan gara-gara masalah tadi siang. Beliau  hampir mengambil sapu untuk memukul kakiku.

“KAMU LUPA ATAU NGGAK PEDULI KALAU ADIKMU ITU ALERGI SUSU SAPI ?! HARUSNYA KAMU LIHAT KEMASANNYA SEBELUM BELI! INI SUSU KADALUWARSA. KALAU KALIAN SAKIT GIMANA?!”

Aku menunduk, berbisik kata lupa, menyesali perbuatanku.

Ibu terlihat menghela nafas panjang. Sedangkan aku masih terlalu bodoh untuk mencerna semuanya. Ibu memelukku dan mengelus rambutku. Pandanganku sudah buram karena air mata yang hampir menetes. Nafasku tak beraturan, masih tak membalas pelukan ibu. Setelah semua drama berakhir aku beranjak meninggalkan ruang tamu dan segera masuk ke kamar. Menangis dalam gelapnya ruangan lalu ketiduran.

Pagi-pagi sekali pintu kamarku diketuk tiga kali. Aku diam masih berkaca, menatap wajahku yang bengkak gara-gara drama kemarin malam.

“Kak, aku masuk ya...” Ucap Hayu yang ternyata mengetuk pintu.

“Hmm.” aku hanya berdehem tidak jelas.

Hayu memasuki kamarku, tiba-tiba langsung memeluk kakiku.

“Maaf ya kak... Gara-gara aku..kakak dimarahi lagi” ucapnya menyesal.

Tapi sebentar, ada yang aneh dengan suaranya. Aku menatap wajahnya sambil menyipitkan mata. Saat Hayu mendongakkan pandangan, astaga bibirnya membengkak dan wajahnya memerah karena alerginya kumat.

“Ini?” Tanyaku sambil memegang wajahnya

“Ini sudah nggakpapa kok kak, maaf ya kak. Aku juga lupa kalau aku alergi” kata adik sambil tersenyum. 

Aku memeluknya. Kini aku tahu betul apa yang kurasakan.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline