Lihat ke Halaman Asli

Pelarian Besar

Diperbarui: 1 Februari 2023   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku menikmati aroma cengkeh yang menusuk paru ku
Sembari menyeruput secangkir kopi panas
Bernostalgila tentang 19 tahun aku yang hancur, terduduk di belakang pintu kamarmu
Kau kira aku baik-baik saja

Sayang, kau mematahkan seluruh tulangku
Tubuhku membiru, mati rasaku
Mulutku terkunci sembari mengutukmu dalam hati
Berpikir kita harus bertahan
Setiap detiknya dalam luapan amarah dan dendam

Apakah ini yang dinamakan kerasnya kehidupan?
Para tetua membungkam perawan
Pemuka agama memburu kembang-kembang desa
Patriarki yang mengakar
Melahirkan anak perempuan hanya untuk dijadikan persembahan
Menua dalam suram, gelapnya rumah tangga

Semua ini salahku karena memilihmu untuk berjalan didepanku
Yang menengok kebelakang hanya untuk memakiku
Semua ini salahku sebab lahir di tempat terkutuk
Salahku sendiri karena tidak segera melarikan diri
Perkataan manismu yang memabukkan hanya berakhir kekerasan

Kini aku tidak peduli
Tak ada salahnya untuk melepaskan diri
Temaram lampu tempel membisikkan kata lari
Aku diam-diam menumpahkan minyak tanah ke gubug milik kita
Melemparkan lampu teplok
Biarlah kebencian menghanguskan segalanya

Aku membuka mataku perlahan
Menghisap rokok kretek yang ku giling sendiri
Kopi yang sudah dingin mengingatkanku untuk segera pergi
Rambut putihku yang menipis berjatuhan
Akhir hidup yang menyenangkan
Dengan membebaskan semua keturunan

30/12/22-25/12/23
-sukmakarila

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline